JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Konflik antar aliran dalam agama di Indonesia kerap muncul sewaktu-waktu. Umumnya, mereka yang saling sahut dengan ujaran kebencian akan membenturkan pandangan mayoritas dan minoritas sebagai sebuah upaya melegitimasi satu mazhab terhadap mazhab yang lain.
Akhirnya, terbentuk sebagian umat Islam sebagai mayoritas di sebuah negara yang kerap bersikap diskriminatif, intimidatif, dan intoleran terhadap minoritas keyakinan lainnya. Kaum Syiah dan Ahmadiyah, misalnya, merupakan dua aliran yang diyakini sebagian besar umat Islam Sunni di Indonesia sebagai aliran sempalan yang dinilai keluar dari koridor agama. Keduanya pun tak henti-henti mendapat ujaran negatif sebagai upaya menekan eksistensi seraya mengalamatkan predikat sesat, bahkan kafir.
Meski begitu, kedua aliran tersebut membantah anggapan negatif yang disematkan ke paham mereka. Sumpah setia kepada ideologi negara pun turut mereka teguhkan sebagai bentuk keniscayaan berbangsa. Namun, tak jarang pula antara kaum yang sering disebut mayoritas dan minoritas ini terlibat adu argumen hingga seringkali berujung pada ujaran kebencian di kedua belah pihak.
Wakil Ketua Komisi Agama (Komisi VIII) DPR, Marwan Dasopang, memandang pertikaian aliran dalam agama, khususnya Islam di Indonesia kerap muncul karena ulah masyarakat di tingkat akar rumput. Menurutnya, hal yang sering menjadi perdebatan adalah soal perbedaan cabang ajaran agama atau yang lazim disebut dengan fikih.
Dari situ, kata Marwan, salah satu diantaranya menganggap paham yang menjadi lawannya telah menistakan paham yang ia anut. Padahal, lanjut dia, perbedaan dalam hal cabang agama tak meniscayakan adanya penistaan agama. Sejauh adanya kebebasan dalam beragama di Indonesia, aliran yang berbeda dari kelompok yang mendaku mayoritas tak dibenarkan disikapi secara resistansi.
"Berkenaan dengan sekte, ketika sekte itu tidak menghina induknya atau agamanya, maka itu saya pikir tidak boleh dipersekusi," katanya kepada TeropongSenayan saat ditemui di ruangannya, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (24/6).
Meski begitu, jika sebuah sekte atau aliran memang nyata dinilai telah menghina kemuliaan agamanya sendiri, menurut Marwan hal itu bisa berkonsekuensi hukum.
TEROPONG JUGA:
> Komnas HAM Tindak Lanjuti Penyegelan Masjid Ahmadiyah di Sukabumi
> Wali Kota Bogor Larang Syiah Rayakan Asyura di Wilayahnya
Mengenai kebebasan beragama, politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini meyakini Indonesia tidak mencekal adanya perbedaan, baik itu dalam lintas agama maupun aliran, selagi keyakinan yang dianut tak bertentangan dengan Ideologi negara dan konstitusi. Sebab itu, ia membantah anggapan sebagian pihak bahwa Indonesia merupakan negara yang membatasi keberagaman dalam beragama.
"Secara konstitusi sudah jelas, baik di Pancasilanya sendiri, baik di UUD-nya sendiri, baik di peraturan-peraturan lain," jelasnya.
Namun konflik itu muncul seiring beragam pula penafsiran masyarakat terhadap sebuah aliran agama. Justifikasi dan klaim sepihak menurut Marwan muncul di masyarakat akar rumput yang biasanya tak senang dengan sebuah paham keagamaan yang berbeda dengannya.
Kebencian muncul karena berawal dari kecurigaan terhadap sesuatu yang berbeda terhadap sebuah kelompok dalam agama. Akibatnya, intoleransi muncul dan persekusi diambil sebagai tindakannya. Marwan tak menafikan adanya hal itu. Namun perbuatan yang dilakukan masyarakat di akar rumput tak boleh menggeneralisir anggapan negatif terhadap semua penganut yang sama.
Legislator dari daerah pemilihan Sumatera Utara II ini sepakat perlu adanya pembinaan masyarakat di akar rumput untuk mengetahui lebih jauh realita beragam aliran dalam sebuah agama. Tujuannya, agar masyarakat mampu menyikapinya dengan bijak tanpa ujug-ujug berpandangan negatif yang lalu kemudian bertindak diskriminatif.
"Yang menjadi saling serang itu sebetulnya, bukan persoalan induk, bukan persoalan rumah besarnya, tetapi antar kelompok mereka sendiri karena adanya perbedaan," pungkasnya.