JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian membuka wacana perlunya perubahan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia. Pilkada yang tadinya digelar secara langsung, atau masyarakat langsung memilih calon kepala daerah, diusulkan agar tidak semua daerah melakukan pemilihan, melainkan diseleksi mana yang layak.
Kelayakan diukur dari tingkat indeks pembangunan manusia suatu daerah, kemampuan fiskal daerah yang kuat serta siap secara sosial. Jika tidak seperti itu, dikhawatirkan akan muncul berbagai masalah, seperti politik uang atau kampanye hitam yang berpotensi memecah belah bangsa. Biasanya hal itu terjadi karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang politik pada diri masyarakat.
Menanggapi wacana yang diusulkan Tito, Anggota Komisi II DPR, Teddy Setiadi, menilai urgensi besar yang perlu diperbaiki pemerintah adalah soal pendidikan politik masyarakat, khususnya di daerah. Sebab, munculnya bejibun persoalan dalam pilkada dikarenakan minimnya pengetahuan tentang politik. Minimnya pengetahuan meniscayakan kurangnya kesadaran, termasuk kesadaran bahwa politik uang itu adalah sebentuk pelanggaran norma.
Untuk itu, politikus Partai Keadilan Sejahtera ini meminta pemerintah mengevaluasi dan memperbaiki pendidikan politik bangsa.
“Pertama perlu dievaluasi adalah pendidikan politik kita masih rendah, usaha pendidikan politik yang sudah dilakukan oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu seperti apa? Juga pengawasan kepada peserta pemilu bagaimana? Agar kekhawatiran berubahnya bentuk kecurangan yang terjadi dalam pilkada langsung maupun tidak langsung dapat diantisipasi, bukan sebagai upaya untuk menguntungkan kelompok-kelompok tertentu," kata Teddy kepada TeropongSenayan, Kamis (25/6).
TEROPONG JUGA:
> KPU Gelar Simulasi Pilkada Bulan Juli, Teddy Tekankan Pentingnya Protokol Kesehatan
Menurut Teddy, munculnya usulan pilkada asimetris ini karena masih banyak masyarakat yang belum siap dan tidak dipersiapkan dalam menghadapi pemilu langsung. Sementara pilkada asimetris sendiri nantinya memungkinkan terjadi perbedaan pelaksanaan mekanisme pilkada antar daerah.
Di awamnya pengetahuan masyarakat soal politik, Teddy mengungkapkan peserta pemilu atau tim kampanye calon pemimpin daerah juga malah mendidik para pemilih dengan pendidikan politik yang burik, seperti money politic, black campaign, dan upaya-upaya yang dinilai tidak baik lainnya kepada masyarakat.
Padahal, selama ini masyarakat ingin ikut andil dalam menentukan pemimpin atau perwakilannya, tetapi karena pendidikan politik yang tidak baik dari peserta pemilu itu akibatnya masyarakat sendiri yang menjadi korban.
"Jadi kalau suatu daerah dinilai kurang siap untuk pemilu langsung mau sampai kapan dibiarkan tidak siap? Jangan-jangan nanti akan dibiarkan terus supaya menguntungkan segelintir orang. Itu yang menurut saya harus dievaluasi,” Pungkas legislator dari tanah Pasundan ini.