Berita
Oleh Rihad pada hari Sabtu, 27 Jun 2020 - 11:00:13 WIB
Bagikan Berita ini :

Din Syamsuddin Seharusnya Tidak Didesak Mundur 

tscom_news_photo_1593230211.jpg
Din Syamsuddin (Sumber foto : ist)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Beredarnya pernyataan desakan kepada Prof. Din Syamsuddin agar mengundurkan diri dari anggota Majelis Wali Amanat (MWA) ITB menjadi kontroversi. Dr. Syahganda Nainggolan, alumni Geodesi ITB, dan Alumni Pascasarjana Studi Pembangunan ITB menaruh curiga dengan desakan tersebut, yang dianggap sebagai alasan mengada-ada.

Desakan agar Prof Din Syamsuddin mundur dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan Alumni ITB Anti Radikalisme atau Gerakan Anti Radikalisme Alumni ITB. “Padahal dalam kealumnian ITB hanya dikenal Ikatan Alumni ITB Pusat dan Ikatan Alumni ITB Daerah serta Ikatan Alumni Jurusan. Semuanya dalam satu wadah resmi yang diketuai Dr. Ridwan Djamaluddin,” katanya.

Menurut Nainggolan, alasan bahwa Prof. Din radikal sangat membingungkan. Pertama, Din dikaitkan radikal karena pernah menghadiri acara HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) pada tahun 2007. Padahal pada tahun 2017, sepuluh tahun kemudian, Presiden Jokowi mengangkat Prof. Din Syamsuddin sebagai utusan khusus presiden untuk Dialog dan Pembangunan Perdamaian serta Peradaban Dunia. Pada saat ditanya wartawan alasan pengangkatan Din setingkat menteri itu, Jokowi menyebutkan dia sudah mengetahui jejak rekam dan pondasi kokoh Prof. Din dibidang tersebut. Bahkan, Jokowi merayu Professor Din untuk mau menerima amanah itu demi kepentingan negara.

Kedua Din disebutkan mengkritik MK (Mahkamah Konstitusi) atas hasil pilpres 2019 yang lalu. “Alasan ini juga membingungkan. Sebab, Din Syamsuddin kala itu meminta masyarakat agar menerima legalitas hasil pilpres yang diputuskan MK, namun tetap perlu menyimpan rasa curiga atas keputusan MK yang terasa ganjil tersebut,” katanya. Dalam posisi ini sebenarnya Prof. Din memberikan kanalisasi pada emosi puluhan juta rakyat yang merasa pilpres diwarnai berbagai kecurangan. Sehingga, seharusnya sikap Prof. Din ini dikategorikan sikap negarawan, bukan radikal.

Ketiga, Prof. Din Syamsuddin dikatakan banyak mengkritik pemerintahan Jokowi. Hal ini melanggar Statuta ITB dan MWA ITB yang mengatakan bahwa hubungan ITB dan pihak pemerintah harus baik-baik saja.

Hal ini sedikit membingungkan, karena ITB dan jajaran profesornya dari dulu tercatat sangat lumrah bersikap kritis terhadap pemerintah. Pada masa Soeharto, bahkan rumah Rektor ITB Profesor Iskandar Alisyahbana dihujani peluru oleh tentara pendukung rezim Suharto, karena rektor tersebut mendukung gerakan mahasiswa ITB 77/78 yang meminta Soeharto lengser. Sampai akhir hayatnya Professor Iskandar Alisyahbana tidak menyesal mendukung gerakan mahasiswa saat itu. Kebebasan ilmiah telah membuat kampus ITB terkenal menghargai sikap kritis. Dengan demikian sikap Prof. Din Syamsuddin yang saat ini sering kritis terhadap pemerintah Jokowi harus dimaklumi sebagai bagian demokrasi, yang sejak dulu diperjuangkan ITB.

Untuk memajukan ITB jaringan internasional sangat dibutuhkan dari berbagai pihak terkait ITB. Kehadiran Prof Din yang mempunyai relasi kuat ke Vatikan, PBB, PKC-RRC, tokoh politik Amerika dan lainnya tentu sangat perlu bagi ITB agar konektivitas terhadap dunia global semakin cepat terjadi. Sebab, konektivitas adalah kata kunci kemajuan institusi, seperti ITB, di masa datang.

“Dengan demikian daripada menghujat Profesor Din Syamsuddin secara brutal dengan menuduh radikal, lebih baik senat akademik ITB mempertahankan keberadaan Profesor Din Syamsuddin di MWA ITB tersebut,” kata Dr. Syahganda Nainggolan.

Seperti diberitakan sebelumnya, alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) mendesak Din Syamsuddin diberhentikan sebagai anggota Majelis Wali Amanat (MWA) ITB. Din dianggap telah melanggar amanat statuta ITB dengan melakukan sejumlah tuduhan pada pemerintah.

Dalam surat yang beredar, alumni ITB mengungkap sejumlah tindakan Din yang dinilai sebagai pelanggaran berat. Pertama, tuduhan Din yang menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) tidak jujur dan tidak adil saat proses sengketa Pilpres 2019. "Pernyataan politis yang konfrontatif ini dilontarkan saat yang bersangkutan belum dua bulan menyandang status sebagai anggota MWA ITB," seperti dikutip dari salinan surat, Jumat (26/6).

Dugaan pelanggaran berikutnya adalah tuduhan Din yang menyebut pemerintah Indonesia otoriter dan represif. Hal ini disampaikan Din saat menjadi pembicara kunci pada sebuah webinar yang digelar 1 Juni lalu.

Dalam webinar tersebut, Din menyatakan pemerintah otoriter dengan menyebut, "terus terang kita terganggu jika ada rezim yang cenderung otoriter, represif, dan anti kebebasan berpendapat". "Dapat disimpulkan yang dimaksud rezim otoriter, represif, adalah pemerintah RI di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo karena menggunakan kata "kita" yang merujuk pada dirinya sendiri dan semua peserta webinar," jelasnya.

Selain pernyataan tersebut, alumni ITB juga mempersoalkan pernyataan Din yang menyinggung soal tuduhan sistem kediktatoran konstitusional kepada pemerintah. Pernyataan ini didasarkan pada penerbitan Perppu soal penanganan corona yang diteken Jokowi beberapa waktu lalu. Namun pernyataan Din itu dinilai telah menuduh pemerintahan di bawah Jokowi berubah sebagai pemerintah diktator dan tak mampu menjadi pemimpin yang baik.

Alumni ITB menilai Din secara konsisten selalu mengambil sikap yang berlawanan dengan pemerintah. Berbagai sikap itu juga menunjukkan keinginan Din agar terjadi konflik dengan pemerintah.

"Prof Din tak segan menyerang pemerintahan Jokowi dengan melancarkan tuduhan negatif yang tak cukup punya validitas," ucapnya.

Din juga dinilai memiliki tendensi melontarkan pernyataan yang berisiko menciptakan konflik di masyarakat. Pernyataan-pernyataan tersebut juga cenderung berkarakter radikal karena bernada provokatif, khususnya kepada umat muslim Indonesia agar melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah."Prof Din juga ditengarai memiliki antipati tertentu terhadap figur Presiden Jokowi yang saat ini secara resmi dan sah menjabat sebagai pemimpin tertinggi NKRI".

Alumni ITB menilai berbagai sikap dan pernyataan Din itu telah melanggar PP Nomor 65 Tahun 2013 yang menjelaskan bahwa anggota MWA harus memenuhi syarat memiliki rekam jejak baik dalam kehidupan bermasyarakat dan akademik. Seorang anggota MWA juga harus mempunyai kemampuan membangun hubungan antara pemerintah, masyarakat, dan ITB. "Komunikasi publik Prof Din yang masuk ke ranah politik praktis anti pemerintah dan menghasut rakyat, jelas tidak sejalan dengan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang anggota MWA ITB."

Ketua Majelis Wali Amanat Institut Teknologi Bandung (ITB) Yani Panigoro mengatakan Din Syamsuddin akan mengundurkan diri sebagai anggota majelis tersebut. Keputusan ini disampaikan Din setelah adanya permintaan dari alumni ITB yang memintanya untuk mundur.

tag: #wali-amanat-itb  #din-syamsuddin  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement