JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan keluar dari tim teknis yang membahas omnibus law RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan. Tim ini dibentuk Kementerian Ketenagakerjaan dengan tujuan untuk mencari jalan keluar atas buntunya pembahasan klaster ketenagakerjaan, sekaligus untuk menindaklanjuti kebijakan Presiden Jokowi dan Ketua DPR yang menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan.
Serikat pekerja yang memiliki keterwakilan di dalam Lembaga Tripartit bersama dengan unsur Apindo/Kadin dan pemerintah (Kemnaker) sepakat untuk membentuk tim teknis. Dari unsur pekerja beranggotakan 15 orang, terdiri dari perwakilan KSPSI AGN (3 orang), KSPI (3 orang), KSPSI Yoris (3 orang), KSBSI (2 orang), KSPN (1 orang), K. SARBUMUSI (1 orang), FSPPN (1 orang), FSP KAHUTINDO (1 orang). Sedangkan unsur Apindo/Kadin berjumlah 15 orang dan unsur pemerintah 25 orang.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, tim ini dibentuk setelah berdikusi dengan unsur Apindo/Kadin yang dipimpin Menteri Ketenagakerjaan pada tanggal 3 Juli 2020. Tim ini tadinya diharapkan menghasilkan keputusan dan kesepakatan, atau sekurang-kurangnya kesepahaman baru terhadap pasal-pasal di dalam RUU Cipta Kerja khususnya Klaster Ketenagakerjaan.
Sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umum Apindo dan Ketua umum Kadin yang juga hadir dalam pertemuan itu, mereka meminta ada take and give. Bahkan Menaker juga menyampakan tentang pentingnya kompromi antar pihak, dengan tetap berpedoman pada penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya dan tetap memberikan perlindungan kepada kaum buruh.
“Karena tim ini memiliki tujuan untuk membuat keputusan atau kesepakatan atau sekurang kurangnya berupa kesepahaman para pihak terhadap draf RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan yang saat ini sudah diserahkan ke DPR, kami memutuskan untuk bergabung di dalam tim,” kata Iqbal dalam keterangan tertulis, Ahad, 12 Juli 2020.
Ia melanjutkan tim ini diharapkan bisa menghasilkan kesepakatan berupa rekomendasi kepada pemerintah agar melakukan revisi isi draf omnibus law yang saat ini sudah masuk ke DPR, sehingga tidak ada lagi pasal-pasal yang merugikan kaum buruh.
Said Iqbal
Dalam perkembangannya, tim ini bertemu pertamakali pada tanggal 8 Juli 2020. Pada pertemuan pertama, serikat pekerja yang tergabung di dalam Majelis Pakerja Buruh Indonesia (MPBI) yang terdiri dari KSPSI AGN, KSPI, dan KSBSI serta atas persetujuan serikat buruh yang lain menyerahkan satu konsep bersama draf sandingan RUU tersebut dari serikat pekerja kepada pemerintah dan unsur Apindo/Kadin secara tertulis.
“Isi dari draf itu berisi analisa dan pandangan serikat buruh mengenai dasar penolakan kami terhadap klaster ketenagakerjaan, kemudian mengusulkan agar UU No 13 Tahun 2003 dijadikan sebagai perlindungan kesejahteraan yang paling minimal bagi pekerja/buruh," jelas Iqbal.
Hal ini selaras dengan amanat Presiden Jokowi ketika menyampaikan pernyataan penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, yakni RUU tersebut dibuat untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya dan tetap memberikan perlindungan kesejahteraan bagi para pekerja dan keluarganya.
Bagi KSPI, kata Iqbal, pesan ini sangat jelas bahwa tujuan pembentukan tim teknis ini adalah untuk memenuhi dua tujuan dibuatnya RUU yang diamanatkan Presiden Jokowi tersebut, atau dengan kata lain, lapangan kerja tercipta tapi tidak boleh mengurangi perlindungan minimal bagi kesejahteraan buruh dan keluarganya sebagaimana diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Saling bertukar konsep adalah hal yang lazim dalam dialog di lembaga tripartit sebagaimana standar internasional, di mana Indonesia sudah meratifikasi konvensi ILO NO 144 terkait Tripartit. Bahwa setiap kebijakan terkait dengan perburuhan harus dikonsultasikan dan didiskusikan secara tripartit. Dengan demikian, harus ada mekanisme perundingan, kesepakatan para pihak, sosial dialog, baru kemudian diambil keputusan.
Terlepas apakah ada pasal yang disepakati maupun yang tidak disepakati. Hasil sosial dialog tripartit ini berupa rekomedasi tripartit untuk diserahkan kepada Pemerintah. Jadi sesuai Konvensi ILO tersebut, rapat tripartit bukan hanya "sekadar ngobrol-ngobrol" atau hanya sekedar mendengarkan masukan para pihak tetapi berupa rekomendasi, dan nantinya Presiden lah yang memutuskan apakah rekomendasi tersebut akan disetujui atau dipakai seluruhnya atau sebagian saja.
“Dengan kata lain, tripartit bukan hanya tukang stempel atau sekadar alat legitimasi yang hanya mendengar masukan tanpa adanya keputusan dan kesepakatan,” ujar Iqbal.
Namun amat disayangkan, dalam sidang pertama, secara arogan konsep yang diserahkan unsur pekerja dikembalikan oleh unsur Apindo/Kadin. Ketika diminta apa konsep dari Apindo/Kadin, mereka tidak bersedia memberikannya secara tertulis. Ini menunjukan Apindo/Kadin tidak memahami esensi pembahasan tripartit dan mengingkari makna take and give yang penah disampaikan oleh ketua umum mereka dalam rapat pertama. Bahkan amanat Presiden Jokowi pun diabaikan.
Dalam pertemuan kedua tanggal 10 Juli 2020, unsur Apindo/Kadin menegaskan bahwa pertemuan di dalam tim teknis ini tidak perlu ada keputusan dan kesepakatan, karena hanya sekedar memberikan masukan. Dan Apindo/Kadin pun menyatakan bahwa rapat tim teknis ini bukan perundingan para pihak. Padahal hasil tim adalah berupa rekomendasi untuk Presiden Jokowi. "Bagaimana bisa disebut bukan perundingan?," ujar Iqbal.
Ia mengatakan hal tersebut diamini oleh unsur pemerintah yang hadir saat rapat, yang menyatakan bahwa rapat tim teknis ini bukan perundingan dan tidak perlu ada kesepakatan atau keputusan apapun.
Iqbal menegaskan, KSPI menolak sikap Apindo/Kadin dan pemerintah yang diwakili kemenaker, karena tidak sesuai semangat yang diamatkan Presiden Jokowi dan keinginan para buruh agar RUU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan tidak merugikan dan mengeksploitasi buruh.
Konvensi ILO no 144 jelas menyebutkan harus ada Rekomendasi dalam bentuk kesepakatan dan keputusan para pihak di tripartit tersebut, setelah melalui mekanisme perundingan. Dalam konvensi yang telah resmi diratifikasi oleh pemerintah indonesia tersebut jelas dikatakan bahwa setiap kebijakan perburuhan termasuk pembahasan RUU wajib dibahas di tripartit yang terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja.
Empat Alasan Keluar dari Tim Teknis
Berdasarkan hal itu, KSPSI AGN, KSPI, dan FSP Kahutindo memutuskan untuk keluar dan mengundurkan diri dari tim teknis RUU Cipta Kerja. Setidaknya ada empat alasan mengapa keputusan untuk keluar dari tim teknis diambil.
Pertama, tim tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dan kesepakatan apapun. Tetapi hanya mendengarkan masukan dari masing-masing unsur.
Kedua, unsur Apindo/Kadin dengan arogan mengembalikan konsep RUU usulan dari unsur serikat pekerja dan tidak mau meyerahkan usulan konsep apindo/kadin secara tertulis.
“Jika hanya sekedar mendengarkan masukan dan ngobrol ngobrol saja, secara resmi kami sudah menyampaikan masukan berupa konsep RUU secara tertulis kepada pemerintah dan apindo/kadin, tetapi kemudian secara arogan konsep serikat pekerja tersebut dikembalikan oleh unsur Apindo/Kadin. Barangkali mereka merasa di atas angin karena merasa didukung oleh unsur pemerintah,” kata Iqbal.
“Dengan demikian kami berpendapat, hal ini menyalahi prinsip tripartit dan norma-norma dalam dialog sosial yang mengedepankan kesetaraan, kebebasan berpendapat, dan saling percaya untuk mengambil keputusan besama secara musyawarah dan mufakat, sebagaimana juga termaktub dalam konvensi ILO no 144 tentang Tripartit yang sudah diratfikasi pemerintah indonesia” lanjutnya.
Ketiga, ada kesan pembahasan akan dipaksakan selesai pada tanggal 18 Juli 2020. Dengan jumlah pertemuan yang hanya 4-5 kali, serikat buruh memiliki dugaan ini hanya jebakan dan alat untuk mendapatkan legitimasi dari buruh. Sebab, tidak mungkin membahas pasal-pasal yang sedemikian berat hanya dalam 4-5 kali pertemuan.
KSPI menduga pertemuan tersebut hanya formalitas dan jebakan saja dari pemerintah yang diwakili Kemenaker dalam memimpin rapat tim. Agar mereka mempunyai alasan, bahwa pemerintah sudah mengundang serikat pekerja/serikat buruh untuk didengarkan pendapatnya. Dengan kata lain, pemerintah yang diwakili Kemenaker hanya sekedar ingin memenuhi unsur prosedur saja bahwa mereka telah mengundang pekerja masuk dalam tim dan tidak menyelesaikan substansi materi RUU Omnibus Law yang ditolak kalangan buruh.
Keempat mengapa KSPI mundur dari tim. Bahwa masukan yang disampaikan hanya sekedar ditampung, tetapi tidak ada kesepakatan dan keputusan apapun dalam bentuk rekomendasi dalam menyelesaikan substansi masalah omnibus law.
Padahal, yang harus diselesaikan adalah substansi dari klaster ketenagakerjaan yang menghapus upah minimum yaitu UMK dan UMSK dan memberlakukan upah perjam dibawah upah minimum,
Mengurangi nilai pesangon, penggunaan buruh outsorcing dan buruh kontrak seumur hidup untuk semua jenis pekerjaan, waktu kerja yang eksploitatif dan menghapus cuti berikut menghapus hak upah saat cuti, kemudahan masuknyaTKA buruh kasar di Indonesia, mereduksi jaminan sosial, mudahnya PHK sewenang-wenang tanpa izin pengadilan perburuhan, dan hilangnya beberapa sanksi pidana untuk pengusaha.
“Berdasarkan 4 alasan di atas, kami dari KSPI, KSPSI AGN, dan FSP Kahutindo keluar dan mengundurkan diri dari tim teknis Omnibus Law RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan," tegas Iqbal.
Sedangkan yang masih tetap berada di dalam tim adalah serikat pekerja KSBSI bersama beberapa serikat pekerja yang lain. Mereka harus bertanggung jawab penuh bilamana omnibus law RUU Cipta Kerja yang merugikan buruh ini tetap dipaksa untuk disahkan.
“Dengan keluarnya dari tim, kami tidak bertanggungjawab atas apapun hasil dari pembahasan tim tersebut. Kami tidak ingin masuk di dalam tim yang hanya sekedar menampung masukan saja tanpa keputusan, dan hanya sebagai alat legitimasi dan menjadi tukang stempel terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja,” pungkas Iqbal.