JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Badan Pusat Statistika (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Quartal II/2020 mengalami kontraksi (minus) 5,32% dibanding periode yang sama tahun lalu. Artinya Indonesia berada diambang resesi, jika pada Quartal III nanti pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali minus, maka mimpi buruk itu menjadi kenyataan.
Anggota Komisi Ekonomi (Komisi VI) DPR, Amin Ak, menyayangkan minimnya terobosan pemerintah dalam membangkitkan perekonomian nasional, padahal pemerintah punya segala hal yang dibutuhkan untuk menahan anjloknya perekonomian nasional. Anggaran pemulihan ekonomi nasional yang sangat besar dengan dana stimulus mencapai Rp 695,2 triliun, hingga awal Agustus ini baru terserap 20 persen saja.
Amin mendesak pemerintah untuk mengerahkan segala upaya menyelamatkan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) jika ingin meredam laju resesi ekonomi. Apabila akhirnya terjadi resesi, namun jika UMKM bangkit dan kembali berputar usahanya, Amin yakin resesi tidak akan berkepanjangan.
“Pemerintah harus all out membantu UMKM agar bangkit. Jika dianggap unbankable, bantu dan bimbing sehingga mereka layak mendapat bantuan modal atau kredit dari perbankan. Jangan biarkan UMKM terus bertumbangan karena mereka kesulitan mengakses dana stimulus atau modal kerja,” kata dalam siaran pers, Jumat, 7 Agustus 2020.
Amin Ak
Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menyayangkan kecilnya jumlah UMKM sudah memperoleh bantuan modal kerja. Sampai awal Agustus 2020, baru 617.324 debitur dari kalangan UMKM yang mendapat kredit modal kerja, atau sekitar 0,96% dari total 64 juta UMKM.
Padahal pemerintah sudah menempat dana di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) sebesar Rp 30 triliun dengan harapan Himbara mampu meningkatkan kredit yang dimodali pemerintah Rp 30 triliun menjadi Rp 90 triliun selama tiga bulan.
Menurut Amin, akibat lambatnya realisasi program PEN membuat banyak UMKM harus berusaha mencari permodalan sendiri. Beberapa di antaranya bahkan memilih untuk tutup sementara karena tak bisa mengakses pembiayaan murah.
Padahal dengan dengan bangkitnya UMKM, laju penurunan ekonomi nasional dari sisi pengeluaran bisa diredam, karena UMKM itu menjadi sandaran bagi 90% tenaga kerja nasional.
BPS melansir konsumsi masyarakat anjlok hingga minus 6,51% karena daya beli masyarakat yang terus menurun. Jika dibedah, pada quartal I lalu, daya beli masyarakat anjlok sebesar 50% akibat pandemi Covid-19.
Namun sayangnya, dana besar stimulus alih-alih mampu mengerem laju penurunan, yang terjadi malah daya beli pada quartal II kembali anjlok sebesar 25% dibanding quartal I.
BPS juga merilis, tingkat konsumsi rumah tangga minus 5,51 persen, konsumsi pemerintah minus 6,9 persen, dan konsumsi Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (LNPRT) minus 7,76 persen. Disisi lain, pertumbuhan industri transportasi dan sektor akomodasi dan industri makanan dan minuman tercatat kontraksi (minus) 29,22 persen dan minus 22 persen.
“Pemerintah memiliki anggaran besar untuk berbagai program dan kebijakan, seperti Kartu Prakerja, Bansos, Insentif usaha lewat berbagai pajak yang ditanggung pemerintah, penempatan dana di bank, penjaminan kredit modal kerja ke UMKM, keringanan rekening listrik bagi pelanggan industri dan sosial. Sayangnya pemerintah seperti gagap menghadapi situasi pandemi ini,” jelas Amin.
Amin tak habis pikir mengapa program bansos gagal mengangkat daya beli masyarakat bawah. Sementara itu, kelompok menengah atas pun cenderung menahan diri untuk membelanjakan uangnya karena rendahnya kepercayaan masyarakat pada kemampuan pemerintah menangani persoalan ekonomi.
“Sikap Presiden yang marah-marah atas kinerja para menterinya yang tidak memble, justru malah menebar pesimisme ditengah masyarakat. Masyarakat ragu apakah pemerintah mampu menangani persoalan ekonomi,” kata legislator dari dapil Jawa Timur IV ini.