JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Indonesia dengan beragam budayanya menyimpan banyak kearifan lokal yang punya nilai-nilai luhur. Nilai-nilai yang tersimpan dalam setiap kearifan lokal merupakan pijakan bagi pendiri bangsa ini untuk membentuk sebuah ideologi bernama Pancasila.
Epistemologi Pancasila memang berakar dari kearifan paling terdalam dari setiap penjuru lokal di Indonesia. Maka, sudah seharusnya bangsa ini simpati terhadap ideologinya sendiri, bukan justru antipati yang bahkan tak jarang menunjukkan sikap resistensi.
"Menyingkap Mutiara Pancasila di Bumi Tadulako, Sulawesi Tengah" menjadi tema dalam webinar Yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Rabu, 12 Agustus 2020.
Dibuka langsung oleh Wakil Ketua BPIP, Prof Hariyono, kajian Pancasila bernuansa kedaerahan ini dihadiri oleh sejumlah pejabat daerah Sulawesi Tengah (Sulteng). Di antaranya, Wali Kota Palu, Hidayat, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kanan Kesbangpol) Fahrudin D. Yambas, dan Ketua GP Ansor Sulteng Alamsyah Palenga.
Adapun unsur dari BPIP yang hadir adalah Sekretaris Dewan Pengarah BPIP Wisnu Bawa Tenaya dan Direktur Sosialisasi, Komunikasi, dan Jaringan, Akbar Hadiprabowo. Diskusi ini juga menghadirkan musisi senior Adie MS.
Dalam sambutannya, Hariyono mengungkapkan, kearifan lokal yang ada di daerah selama ini kurang mendapat perhatian, bahkan cenderung diabaikan. Padahal, dari sana lah tumbuhnya nilai-nilai Pancasila, seperti gotong-royong yang melambangkan persatuan.
Perbedaan di setiap daerah kerap memunculkan pertentangan, bahkan tak sedikit pula masyarakat dalam satu daerah terjadi pergolakan. Namun, masalah seperti itu biasanya kerap muncul akibat gesekan egosentris setiap warga atau kelompok. Di sini lah kearifan lokal yang menjadi sendi Pancasila di daerah memainkan perannya.
Hariyono mengatakan setiap nilai-nilai kearifan lokal yang koheren dengan Pancasila mesti diangkat dan dipraktikkan oleh setiap warga negara, terlebih bagi generasi muda. Dengan begitu, keluhuran budaya daerah tak cuma sekadar informasi di buku-buku, tapi juga termanifestasi dalam setiap perilaku.
"Kearifan lokal di sisi tradisi tidak kita sikapi secara tradisi, tapi kita sikapi dengan cara cara yang lebih komprehensif," kata Hariyono.
Indonesia adalah negara yang kaya akan nilai-nilai kearifan lokal. Nilai-nilai ini pula yang kemudian diadopsi menjadi dasar negara dalam Pancasila. Dan Pancasila terbukti mampu menyatukan keberagaman yang ada di negeri ini. Paham radikalisme ini lah yang kemudian mencoba menghancurkan nilai-nilai Pancasila, yang sejatinya telah ada di dalam sendi-sendi masyarakat.
Salah satu kota di Sulawesi Tengah, Palu, menjadi daerah yang menyimpan kearifan budaya lokal dalam bingkai Pancasila. Wali Kota Palu, Hidayat, menuturkan daerahnya pernah dikunjungi oleh Presiden RI Pertama, Soekarno pada 2 Oktober 1957.
Bung Karno yang saat itu datang, hendak melakukan konsolidasi atas peristiwa gerakan Perjuangan Semesta (Permesta) dari pimpinan sipil dan militer wilayah timur yang dipelopori Letkol Ventje Sumual.
Wali Kota Palu Hidayat, Dirut Bank Sulteng, Rahmat Azis usai menyaksikan proses perakitan patung Bung Karno, Kamis 11 Juni 2020 di Taman GOR Palu.
Dari ketinggian, Bung Karno takjub melihat kawasan Palu yang punya penampakan alam beragam. Keindahan alam Palu rupanya juga dilengkapi dengan karakter masyarakat daerah yang punya nilai kearifan tinggi. Salah satu nilai yang hingga kini masih terawat adalah sikap toleransi.
"Salah satu pidato Soekarno, beliau melihat dari udara bahwa Palu seperti rangkaian mutiara," ujar Hidayat.
Hidayat yang pernah bekerja di Badan Pengembangan dan Penelitian Daerah Kota Palu, mengaku pernah melakukan penelitian soal ungkapan Soekarno tersebut. Ia menjelaskan rangkaian mutiara yang diucapkan Soekarno mengandung dua makna.
"Pertama, bahwa memang masyarakat Palu suku Kaili, mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan nilai-nilai gotong royong," kata Hidayat.
Kearifan ini dinilai ampuh mengatasi persoalan yang terkadang mendera kota Palu. Untuk itu, manakala terjadi gejolak antar desa, Hidayat mengatakan, dirinya sebagai walikota membuka kembali wacana bung Karno tersebut. Hal ini dilakukan guna meredam konflik dengan ingatan sejarah dan kearifan lokal.
"Kalau kita kaji pancasila pendapat kami ada tiga, yakni toleransi, kekeluargaan, dan kegotongroyongan. Inilah yang menginspirasi di Palu yang Insya Allah nilai nilai-niai toleransi ini tetap terjaga," jelasnya. Karena upaya melestarikan kearifan lokal itu pula, Hidayat berujar BPIP memasukkan Kota Palu dalam daftar 10 daerah yang punya nilai toleransi.
Adapun makna kedua dari kata mutiara yang diucapkan Bung Karno tersebut, ia mengimbuhkan, adalah keindahan alam Kota Palu dengan empat dimensi alamnya, yakni, pegunungan, perbukitan, teluk dan sungai Palu.
Ungkapan Soekarno tersebut mendapat penghargaan istimewa dari masyarakat Palu yang pada 11 Juni 2020 lalu akhirnya meresmikan Monumen Mutiara Bangsa dengan bentuk Patung Soekarno di Taman GOR Palu.
Sementara itu, Kaban Kesbangpol Sulteng Fahrudin D. Yambas, mengatakan pemerintah provinsi Sulteng terus mengupayakan aktualisasi nilai Pancasila melalui gerakan sejumlah forum dan organisasi kemasyarakatan.
"Tidak cukup kalau hanya pemerintah sendiri, oleh karena itu kebijakan dan strategi daerah adalah memanfaatkan forum yang ada di Sulteng, mengaktualisasikan nilai Pancasila di masyarakat," kata dia.
Ia mencontohkan beberapa forum dan ormas komunitas yang kini hidup di bumi Sulteng adalah Forum Kewaspadaan yang berada di tingkat pemerintah daerah hingga kelurahan, Forum kerukunan umat beragama, yang berfungsi meminimalisir terjadinya konflik kepentingan, terutama di saat pemilihan umum seperti pilpres 2019 lalu.
Berikutnya Forum pembauran kebangsaan, dan berbagai paguyuban yang ada di Sulteng, seperti komunitas masyarakat Jawa, Maluku, dan Kalimantan. Melalui wadah ini, dengan tetap dilakukan pembekalan tentang Pancasila, Fahrudin mengungkapkan pesan pemerintah untuk persatuan dapat direalisasikan.
Untuk itu, pihaknya mendorong BPIP agar Kesbangpol dijadikan perpanjangan tangan untuk membumikan pancasila. Sebab, salah satu tugas Kesbangpol adalah membantu melaksanakan urusan pemerintahan, termasuk dalam hal menyiarkan nilai Pancasila.
"Perwakilan BPIP memang belum ada di Sulteng dan juga di provinsi lainnya, tapi maksimalkan lah tugas untuk membumikan pancasila melalui badan kesatuan bangsa dan politik daerah. Karena sumberdaya dan anggaran sudah tersedia," kata dia.
Ketua GP Anshor Sulteng, Alamsyah Palenga, menambahkan dalam upaya "syi"ar Pancasila", perlu memperhatikan perkembangan masyarakat yang terbagi dalam tiga karakter; Kelas Urban (Urban Class), Kelas Menengah (Middle Class), dan Kelas Milenial (Millenial Class).
Ia menjelaskan, ketiganya mempunyai relasi dalam membentuk karakter, yakni kepercayaan yang tinggi (confidence), kreativitas (creativity), dan konektivitas (connectivity).
Untuk karakter yang ketiga, sering menjadi masalah bagi kalangan milenial. Liberalisasi dalam konteks pergaulan, baik dunia maya dan di lingkungan, membuat generasi ini harus dihadapkan pada beragam ideologi asing dan tak jarang masuk ke jurang petaka. Salah satu contoh yang pernah terjadi di negeri ini adalah hijrahnya anak-anak muda ke lingkungan jihadis akibat propaganda ISIS.
Di samping itu, Alamsyah tak menafikan bahwa paham ideologi kiri yang banyak mengadopsi nilai-nilai dari Barat juga banyak diminati oleh kalangan muda. Hal tersebut, menurut Alamsyah, karena karakter generasi milenial yang masih mudah terombang-ambing (floating masa) sehingga mudah terbawa arus ideologi asing.
"Kalau kiri dia mudah ditarik ke kiri, kalau ke kanan, ia juga mudah ditarik ke kanan," ujarnya.
Untuk itu, kata Alamsyah, masyarakat sangat membutuhkan sosok yang mampu membawa nilai-nilai kebajikan. Mereka yang diyakini memiliki wibawa dan kebijaksanaan akan mudah diterima masyarakat untuk membina mereka, terutama dalam mencintai negerinya sendiri.
Habib Idrus bin Salim Al-Jufrie (Guru Tua)
Salah satu tokoh nasionalis sekaligus ulama yang hingga kini dimuliakan oleh masyarakat Sulteng adalah Habib Idrus bin Salim Al-Jufrie. Ulama berdarah Yaman ini merupakan pejuang di Sulteng yang giat dalam menyebarkan nilai-nilai persatuan demi keutuhan NKRI.
Alamsyah mengatakan, persatuan dan sikap toleransi masyarakat Sulteng tak lepas dari usahanya menebar perdamaian semasa pra dan pasca kemerdekaan. Di tangannyalah, nilai-nilai Pancasila itu tersampaikan ke masyarakat.
"Beliau adalah inspirasi, sumber motivasi yang sangat luas pengaruhnya terutama di Timur Indonesia," tandasnya.