JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) -- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR mendorong percepatan RUU yang memberi perlindungan negara terhadap para ulama di tanah air. Hal ini menyusul peristiwa penusukan Syekh Ali Jaber saat menghadiri pengajian dan wisuda Tahfidz Alquran di Masjid Falahudin yang berada di Jalan Tamin, Kecamatan Tanjung Karang Barat, Ahad (13/9).
“Kasus persekusi bahkan upaya pembunuhan terhadap Syeikh Ali Jaber seakan jadi pengingat kita bahwa posisi mereka rentan dan penting untuk dilindungi negara,” kata Anggota Fraksi PKS di DPR, Abdul Fikri Faqih dalam keterangan tertulis, Senin, 14 September 2020.
Fikri mengatakan PKS mengutuk aksi penyerangan dan upaya pembunuhan oleh orang tak dikenal terhadap Syekh Ali Jaber. Berkaca dari peristiwa tersebut, Fikri mengungkap posisi ulama saat ini rentan mendapat ancaman dari kelompok-kelompok tertentu.
“Alhamdulillah pelaku berhasil dilumpuhkan jemaah dan diserahkan ke polisi, motifnya harus didalami dan apakah ada pelaku intelektual di baliknya?” ujarnya.
Fikri pun mendesak para pengampu kepentingan untuk merampungkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) perlindungan ulama, yang kini masuk program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2020. Menurutnya, RUU tersebut sudah disepakati DPR dengan nama "RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama" yang diusulkan oleh Fraksi PKS, PKB, dan PPP.
Syekh Ali Jaber dan pelaku penusukan
Namun, dalam format yang diusulkan PKS, RUU tersebut melindungi tidak hanya ulama atau tokoh agama dari kalangan Islam. “Semua tokoh agama dari seluruh agama yang ada di Indonesia wajib dilindungi negara,” kata Fikri.
Wakil Ketua Komisi X DPR ini mengimbuhkan, dalam konteks negara Pancasila, bangsa Indonesia tak lepas dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Sila Pertama tentang ‘Ketuhahan yang Maha Esa’ dalam setiap sendi kehidupannya.
Hal ini menegaskan bahwa negara Indonesia bukan negara yang berpaham sekuler serta memisahkan kehidupan bernegara dengan agama. Dalam konteks itu pula, Indonesia bukanlah negara agama yang berasaskan agama tertentu saja, namun menjadikan keyakinan agama mereka sebagai poin pertama dalam dasar negara Pancasila.
Fikri mencontohkan tradisi religius bangsa ini yang secara turun temurun dalam setiap momen kehidupannya, sebut saja saat masih berbentuk janin di kandungan, momen-momen bahagia, hingga saat kematiannya selalu melibatkan tokoh agama. “Seperti pepatah, bangsa ini selalu terkait dengan ulama mulai dari buaian (dalam rahim ibu) hingga liang lahat (kematian),” sebutnya.
Menurut Fikri, ulama atau tokoh agama telah menjadi sosok yang paling berpengaruh dalam setiap sendi kehidupan masyarakat. Bahkan, dalam menentukan kepemimpinan bangsa, peran tokoh agama selalu diikutsertakan. "Maka ada istilah guru spiritual,” katanya.
Namun berbeda halnya dengan profesi guru yang telah diakui dalam UU guru dan dosen, profesi ulama (tokoh agama) secara alami diakui oleh setiap elemen bangsa tidak secara hukum.
Mereka dihormati sebagai pengayom masyarakat dan menjadi rujukan meminta saran dalam setiap permasalahan. Namun, posisi mereka tak diakui dalam hukum sehingga rentan jadi sasaran atau persekusi.
Beberapa kasus penyerangan, baik secara fisik maupun verbal yang ditujukan kepada tokoh agama yang kerap terjadi beberapa waktu terakhir telah menjadi keresahan di tengah masyarakat. Sebab itu, Fikri mendesak para pemimpin dan penegak hukum untuk memberi pernyataan yang sejuk dan berempati untuk menunjukkan sikap dukungan terhadap kasus tersebut.
“Sekarang waktunya untuk membalas jasa-jasa mereka yang telah berperan dalam mendampingi bangsa ini melewati masa-masa sulit sejak awal kemerdekaan hingga sekarang,” pungkasnya.