JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Guru Besar Hukum Tata Negara Prof Jimly Asshiddiqie kurang setuju bila ide ambang batas parlemen atau parliamentary threshold dinaikan karena itu untuk mengurangi jumlah partai politik di DPR.
"Kan enggak boleh kita membatasi partai. Threshold sekarang empat persen itu kan maksudnya mengikuti nasihat para ahli, supaya partai politik jangan kebanyakan," ucap Prof Jimly melalui keteranganya, Minggu (15/11/2020).
Anggota DPD RI ini mengatakan terdapat alternatif lain yang lebih demokratis untuk menyederhanakan mekanisme pengambilan keputusan di legislatif, tanpa menghambat munculnya partai-partai politik baru dengan threshold.
Banyak partai menurutnya tidak menjadi soal, karena parpol itu wadah penyalur aspirasi masyarakat dari bawah dan yang perlu diatur adalah struktur fraksi di DPR.
"Maka bisa juga salurannya dibiarkan terbuka luas, multiparty. Tetapi, di ujungnya, di struktur parlemen, di struktur DPR-nya, fraksinya dibikin dua saja," katanya.
Hal itu bisa diatur melalui Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3. Di mana struktur DPR dibikin dua fraksi saja dan mekanismenya jangan diserahkan begitu saja ke partai yang lolos ke Senayan.
"Strukturnya dibikin dua saja. Jadi, DPR itu terdiri atas dua kubu, terdiri atas dua fraksi partai-partai. Nah silakan memilih, yang masuk pemerintahan itu namanya kubu atau fraksi pemerintah, yang tidak, itu masuk di kubu kedua, minoritas. Jadi itu diresmikan di dalam struktur DPR," tuturnya.
Dengan begitu, tidak masalah kalaupun banyak partai yang lolos ke Senayan. Sebab, dia harus memilih bergabung di dua kubu fraksi partai-partai yang ada di DPR. Apakah ikut kubu pemerintah atau di kelompok oposisi alias penyeimbang.
"Kalau itu dicapai, maka tidak perlu pengurangan jumlah partai, rekayasa melalui threshold," imbuhnya.
Bila mau moderat, silakan pakai threshold namun tetap saja seperti sekarang. Tidak perlu ada penambahan, sehingga orang-orang yang pengin berpartai dan membuat partai baru, itu diberi kesempatan dan tidak dihalang-halangi.
"Ini kan threshold itu untuk menghalang-halangi partai baru, dengan segala maksud baik dan kemuliaannya. Tetapi ujung dari kemuliaan itu ialah untuk menyederhanakan mekanisme pengambilan keputusan dan itu bisa ditampung dengan struktur dua kubu di DPR. Jadi, strukturnya itu dibikin resmi di UU," tuturnya.
Mantan Ketua MK tersebut memberikan contoh terkait aspirasi politik umat Islam yang mayoritas di Republik ini, yakni sekitar 87 persen dan itu pun tidak pernah dan tak mungkin bisa disatukan.
"Jadi aspirasi, misalkan kelompok HRS (Habib Rizieq Shihab), gerakan 212, itu susah mau memastikan dia ke mana, walaupun sudah ada kecenderungan ke PKS. Artinya, itu kan bukan gambaran seluruh umat Islam Indonesia," pungkasnya.