JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati menyesalkan keputusan Pemerintah yang menaikan iuran BPJS Kesehatan pada tahun 2021 khususnya untuk peserta kelas III.
Mufidayati menilai, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), BPJS Kesehatan dan semua pihak terkait mengabaikan kesepakatan kesimpulan hasil rapat antara Komisi IX DPR dengan pihak BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan pada 24 November 2020 lalu.
Dalam rapat itu, ungkapnya, Komisi IX DPR tegas mendesak agar DJSN untuk berkoordinasi dengan Kementerian/lembaga terkait guna mempertimbangkan relaksasi iuran bagi peserta dari PBPU dan BP kelas III, sehingga tetap membayar Rp. 25.500 pada tahun 2021.
"Ini berarti Komisi IX meminta agar DJSN bersama Direksi BPJS Kesehatan dan semua pihak terkait harus mengupayakan alternatif pembiayaan dan sumber anggaran untuk menutupi selisih dari kenaikan yang diminta oleh BPJS Kesehatan," ujar Mufida dalam keterangannya, Senin (4/1/2021).
Diketahui, iuran peserta kelas I masih mengikuti kenaikan yang sebelumnya pada Juli yaitu Rp 150 ribu, peserta kelas II juga masih mengikuti tarif kenaikan yang sebelumnya, Rp 100 ribu.
Sedangkan untuk kelas III, kenaikan tarif pada Juli 2020 yang semula masih disubsidi oleh pemerintah dengan besaran Rp 25.500, mulai 1 Januari 2021 menjadi Rp 35.000. Tarif ini berlaku untuk semua peserta termasuk Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP)
Menurutnya, meskipun kenaikan tarif kelas III ini lebih rendah dari yang diajukan semula (Rp 42.000), namun tetap memberatkan bagi kelompok PBPU dan BP khususnya dalam situasi pandemi Covid-19. Terlebih, kelompok PBPU dan BP ini menjadi kelompok yang paling terpukul secara ekonomi akibat pandemi.
"Banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan atau sumber pendapatan akibat berbagai pembatasan kegiatan ekonomi melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)," tegasnya.
Ketua DPP PKS ini mengingatkan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga berdampak terhadap beban APBD. Pemda DKI Jakarta, misalnya, sampai menyiapkan anggaran khusus untuk membantu 1,1 juta orang yang berkurang pendapatan yang sebagian besarnya dalam kelompok PBPU dan BP.
Kementerian Ketenagakerjaan sendiri melansir data ada sekitar 2,56 juta pengangguran baru dan 1,77 juta orang yang sementara tidak bekerja akibat pandemi.
Oleh karena itu, Mufida berharap Pemerintah memiliki kepekaan terhadap kondisi yang dialami masyarakat. Ketidakpastian pemulihan ekonomi yang menyebabkan sebagian besar PBPU dan BP masih terpuruk akibat pandemi harus jadi pertimbangan agar tidak semakin menambah beban mereka.
"Kenaikan tarif pada peserta kelas I dan II saja telah menyebabkan sebagian mereka berpindah menjadi peserta kelas III," ungkap Mufida.
Mufida juga mengingatkan lagi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh manajemen BPJS pada saat pengajuan kenaikan tarif dulu yaitu terkait dengan data kepesertaan.
"Apakah permasalahan data ini sudah terselesaikan sehingga BPJS memiliki perhitungan yang lebih akurat terkait kebutuhan besaran pembiayaan?" tanyanya.
Hasil audit dengan tujuan tertentu oleh BPKP terhadap pengelolaan Dana Jaminan Sosial yang menemukan adanya permasalahan data kepesertaan JKN sebanyak 10.854.520.
Sementara Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang menjadi basis data terpadu untuk penentuan jumlah penerima bantuan iuran (yang digolongkan dalam peserta kelas III) mendesak untuk dilakukan perbaikan.
Menurut Mufida, sebelumnya DPR juga sudah mengingatkan manajemen BPJS terkait dengan sistem kepesertaan yang dilakukan dan terkait dengan data yang digunakan.
Permintaan untuk melakukan Cleansing Data kepesertaan ini juga karena adanya temuan 24,77 juta data peserta yang bermasalah dari hasil audit yang dilakukan oleh BPKP.
"Karena data dan sistem kepesertaan yang bermasalah ini bisa berimplikasi pada membengkaknya beban pembiayaan yang harus dilakukan oleh BPJS," tutupnya.