Berita
Oleh Bachtiar pada hari Senin, 30 Agu 2021 - 19:27:34 WIB
Bagikan Berita ini :

Hafisz Tohir Cemaskan Kemampuan Negara Membayar Utang

tscom_news_photo_1630326454.jpg
Achmad Hafisz Thohir Anggota Komisi XI DPR RI (Sumber foto : Istimewa)


JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Anggota Komisi XI DPR RI, Achmad Hafisz Thohir memperingatkan soal risiko fiskal yang semakin menyempit. Karena hal ini sangat penting untuk menjadi perhatian serius bersama dalam menentukan asumsi makro APBN 2022.

“Karena selalu ada kemungkinan resiko fiskal dalam pengelolaan APBN yaitu salah satu risikonya tidak bisa memenuhi kewajiban bayar utang pokok dan bunga utang,” katanya dalam Raker dengan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia, Perry Wardjiyo, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso dan Kepala BPS, Margo Yuwono di Jakarta, Senin (30/8/2021).

Diakui Hafisz, memang kegagalan membayar beban utang tidak pernah terjadi pada berbagai era pemerintahan setelah reformasi. Tetapi tidak pernah, bukan merupakan jaminan untuk tidak bisa terjadi di masa yang akan datang.

“Kondisi beban utang dan kemampuan keuangan negara untuk membayarnya harus selalu dicermati secara sangat jeli,” ujarnya.

Menurut Hafisz, karena ada risiko lain yang bersifat implisit atau kurang tergambar dengan jelas dalam berbagai rasio.

Lebih jauh Wakil Ketua Umum PAN ini membeberkan dalam dua Laporan Hasil Review (LHR) Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2019 dan 2020 disampaikan kepada DPR dan Pemerintah bersamaan dengan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tentang kesinambungan fiskal, yaitu: Pertama, LHR untuk kondisi akhir 2019 dipublikasi pada pertengahan 2020. Kedua, LHR untuk kondisi akhir 2020 dipublikasi pada akhir Mei 2021 lalu.

Wakil Ketua BKSAP DPR ini menyoroti bahwa terkait utang ada dua hal penting: Pertama, tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan Penerimaan Negara yang memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang.

Kedua, indikator kerentanan utang pada 2020 melampaui batas yang direkomendasikan oleh International Monetary Fund (IMF) dan International Debt Relief (IDR), antara lain:

Rasio debt service terhadap penerimaan sbsr 46,77% melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 – 35%.

Rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06% melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6 – 6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7 – 10%.

Rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% melampaui rekomendasi IDR sebesar 92%–167% dan rekomendasi IMF sebesar 90% – 150%.

Disisi lain, Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR ini mengakui bahwa pandemi COVID-19 telah meningkatkan defisit, utang dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal. Tetapi dalam LHR 2019 (sblm terjadi pandemi covid-19) BPK telah memberi “peringatan” agar pemerintah lebih berhati-hati dalam mengelola utangnya.

Berdasar outlook atas realisasi APBN 2021 yang masih berjalan, beberapa aspek LHR BPK tahun 2020 tadi tampak memburuk. Bahkan, akan berlanjut 2022 berdasar postur RAPBN.

tag: #ekonomi-indonesia  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement