Oleh Ajib Hamdani (Analis Kebijakan Ekonomi Apindo) pada hari Rabu, 22 Jan 2025 - 13:20:24 WIB
Bagikan Berita ini :

Pelemahan Nilai Tukar Rupiah perlu Jalan Tengah

tscom_news_photo_1737526824.jpg
Ajib Hamdani (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Memasuki Bulan Januari 2025, kondisi ekonomi nasional dihadapkan dengan tantangan berupa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Pergerakan nilai tukar hampir menyentuh angka 16.400 rupiah per dolar Amerika. Nilai tukar ini cenderung kurang ideal dibandingkan dengan target sesuai Kerangka Ekonomi Makro Tahun 2025, sebesar Rp. 16.000,-/USD.

Pelemahan nilai tukar ini dipengaruhi oleh faktor eksternal, faktor ekonomi global dan internal, faktor ekonomi domestik. Faktor eksternal, terutama karena pergantian kepemimpinan Presiden Donald Trump yang akan fokus dengan penguatan ekonomi domestik Amerika. Termasuk kemungkinan pengurangan pajak perusahaan Amerika, peningkatan investasi domestik dan juga potensi kenaikan tarif barang impor ke Amerika. Hal ini bisa mempengaruhi meraca dagang Indonesia-Amerika yang pada tahun 2024 Indonesia mengalami surplus lebih dari US$ 11 miliar.

Faktor internal atau faktor ekonomi domestik juga memberikan dampak terhadap pelemahan nilai rupiah. Pertama program jangka panjang transformasi ekonomi yang mendorong hilirisasi, jangka pendek akan memberikan konstraksi ekspor bahan baku mentah.

Kedua, faktor keuangan negara dimana Tahun 2025 jatuh tempo hutang mencapai lebih dari 800 triliun rupiah. Hal ini akan memberikan tekanan terhadap kebijakan fiskal yang akan kembali defisit.

Pelemahan nilai tukar rupiah ini akan memberikan imbas terhadap sektor privat maupun terhadap keuangan negara. Di sektor privat, hal ini akan berpengaruh terhadap barang-barang dan bahan baku impor. Potensi kenaikan harga ini akan memberikan dampak mengeskalasi inflasi dan pengurangan daya beli masyarakat.

Sedangkan keuangan negara akan mengalami tekanan, karena sebagian hutang dalam bentuk mata uang asing. Sehingga akan diperlukan penyesuaian atau koreksi atas hutang dan bunga yang jatuh tempo.

Pemerintah perlu melakukan bauran kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan kebijakan ekonomi untuk mendorong penguatan nilai tukar. Untuk kebijakan fiskal, idealnya pemerintah perlu menekan defisit, terutama dengan efisiensi belanja dan prioritas program yang memberikan daya ungkit ekonomi.

Tetapi, memang, ruang fiskal pemerintah begitu terbatas dan sempit, akibat scaring effect pandemi. Pemerintah harus menerapkan filosofi spending better, bukan better spending. Sehingga belanja fiskal menjadi lebih berkualitas.

Sedangkan sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) mengalami kondisi yang dilematis. Untuk penguatan nilai tukar, secara teoritik, BI seharusnya meningkatkan suku bunga acuan, agar terjadi capital inflow dan banyak uang asing masuk ke perekonomian Indonesia. Tetapi, BI lebih memilih mengeluarkan kebijakan moneter dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan.

Ini memperlihatkan bahwa BI lebih memilih untuk fokus dengan penguatan ekonomi dalam negeri dan menjaga daya beli masyarakat. Karena penurunan tingkat suku bunga acuan ini akan mengurangi cost of fund pendanaan dalam negeri dan juga mendorong komsumsi lebih bergairah.

Yang ketiga, pemerintah harus fokus dengan kebijakan ekonomi pro dengan penguatan nilai tukar rupiah. Kerjasama bilateral harus lebih diperkuat dan mengoptimalkan transaksi dengan mata uang lokal. Kemudian kerjasama dengan negara-negara yang tergabung di BRICS menjadi peluang, selain akses perluasan pasar, juga untuk mendatangkan investasi.

Pemerintah mempunyai target yang ambisius dengan mendatangkan investasi tidak kurang dari 13 ribu triliun rupiah dalam waktu 5 tahun ke depan. Hal ini harus diiringi dengan kerjasama-kerjasama yang terbangun dengan negara-negara lain yang mempunyai visi ekonomi yang sama.

Kebijakan yang selanjutnya, dan masih menuai pro kontra adalah penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang berlaku mulai 1 Maret 2025, masa retensinya menjadi 1 tahun. Agar tidak mengalami konstraksi ekonomi dan kontraproduktif terhadap investasi, pemerintah harus mengimbangi dengan insentif yang tepat dan mengakomodir masukan dari seluruh stakeholder.

Jika pemerintah bisa fokus bauran kebijakan-kebijakan yang pro dengan ekonomi dalam negeri, dan membuat kebijakan jalan tengah yang tepat sasaran, sangat mungkin rupiah akan mengalami penguatan, dalam jangka menengah sampai akhir tahun 2025.

Jakarta, 22 Januari 2025
_Ajib Hamdani (Analis Kebijakan Ekonomi Apindo)_

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #ekonomi-indonesia  #bank-indonesia  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Debt Switch Surat Utang Negara Melanggar Undang-Undang, Diancam Pidana Penjara 20 Tahun

Oleh Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Rabu, 22 Jan 2025
Sepuluh tahun terakhir, kondisi keuangan negara semakin tidak sehat. Utang pemerintah membengkak dari Rp2.600 triliun (2014) menjadi Rp8.700 triliun lebih pada akhir 2024.  Yang lebih ...
Opini

Misteri Pagar Laut: Ujian Transparansi dan Keadilan Publik

Fenomena pemasangan pagar laut yang secara diam-diam terjadi, tanpa kejelasan siapa inisiator dan pemilik modalnya, telah menimbulkan berbagai tanda tanya. Apalagi, ketika pembongkarannya dilakukan ...