JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Kejaksaan Agung mempersilakan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang berencana untuk melayangkan gugatan praperadilan terkait mangkraknya kasus korupsi perpanjangan kerja sama pengoperasian dan pengelolaan pelabuhan PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) dengan PT Jakarta Internasional Container Terminal (JICT).
Dalam kasus ini, Kejagung sudah pernah memeriksa sejumlah petinggi PT Pelindo II. Di antaranya Direktur Utama Pelindo II Arif Suhartono (AS) dan mantan Direksi Pelindo II yang kini menjabat sebagai Dirut PT Antam Dana Amin. Selain itu, Kejagung juga memeriksa mantan petinggi Pelindo II RJ Lino dan istrinya, BS serta HP yang merupakan anak RJ Lino. Namun kasus ini hingga kini masih mangkrak di Kejagung.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Supardi menyatakan, apapun langkah yang diambil timnya dalam pengusutan kasus Pelindo II ini, dapat dipertanggungjawabkan.
"Silakan kalau diuji (praperadilan), kami monggo. Apapun nanti penetapan tersangka tidak dilanjutkan, tidak cukup alat bukti, tidak masalah," ujar Supardi saat dikonfimasi wartawan pada Ahad, 5 September 2021.
Supardi memastikan bahwa akhir keputusan apakah kasus Pelindo II lanjut atau dihentikan, sudah atas dasar pertimbangan yang profesional.
"Pokoknya segala tindakan kami, sepanjang kami ambil keputusan profesional dan akuntabilitas terjaga, kami tidak ada masalah," kata dia.
Dalam perkara Pelindo II ini, Koordinator MAKI Boyamin Saiman mendesak Kejaksaan Agung untuk segera menetapkan tersangka dalam kasus ini. Menurut dia, Kejaksaan Agung telah memiliki bukti cukup, tetapi hingga kini tak dilakukan.
Boyamin membeberkan bahwa satu dari dua alat bukti sudah terpenuhi yakni audit investigatif BPK tertanggal 6 Juni 2017 tentang kasus JICT. Dalam konteks ini, audit investigatif BPK adalah alat legitimasi untuk menilai perbuatan melawan hukum dan menentukan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi JICT. Sehingga wajib ditindaklanjuti pihak Kejagung.
Dalam laporan investigasinya, BPK menemukan beberapa dugaan perbuatan melawan hukum yakni perpanjangan kontrak JICT tanpa RUPS, RJPP dan RKAP. Sehingga melanggar PerMen BUMN No PER-01/MBU/2011 dan Pasal 3 serta Pasal 8 KepMen BUMN No KEP-101/MBU/2002.
Selain itu kontrak JICT tanpa ada izin konsesi pemerintah dan melanggar UU 17/2008 Pasal 82 ayat 4, pasal 344 ayat 2 dan pasal 345 ayat 2. Pelanggaran aturan lain yang paling terlihat yakni Pasal 8 ayat 1 dan pasal 10 ayat 1 Permen BUMN No PER-06/MBU/2011 di mana Hutchison ditunjuk langsung tanpa tender.
"BPK juga telah mengungkapkan kasus JICT terindikasi merugikan negara Rp 4,08 trilyun. BPK menemukan bahwa Pelindo II tidak memiliki owner estimate (HPS) sebagai acuan menilai penawaran dari Hutchison. Dasar perhitungan yang tak valid ini berdampak pada penerimaan Pelindo II yang lebih rendah dari nilai seharusnya," ucap Boyamin melalui keterangan tertulis pada 2 September 2021.
Kemudian ihwal dugaan pemufakatan rekayasa keuangan, melalui surat No. HK 566/30/3/1/PI.II-15 Komisaris Pelindo II menugaskan perusahaan BS untuk mengevaluasi perhitungan bisnis perusahaan asing DB sebagai konsultan keuangan PT Pelindo II. Hasilnya ada beberapa dugaan kejanggalan berdasar analisis.
Yakni, pertama, perpanjangan kontrak JICT bukanlah penjualan saham, melainkan murni Kerja Sama Operasi (KSO). Hal ini terlihat jelas dari periode kerjasama yang akan berakhir tahun 2039. Boyamin menilai, seharusnya jika penjualan saham, maka tidak ada batas waktu karena kepemilikan saham bersifat perpetuity atau tidak mengenal mekanisme batas akhir.
Kedua, metode perbandingan total uang yang diterima Pelindo II berdasarkan perjanjian awal (1999-2019) dibandingkan perpanjangan kontrak yang dipercepat (2015-2039) bukanlah mekanisme perhitungan lazim untuk mengukur mana skema yang lebih baik.
Ketiga, perusahaan BS melakukan analisa keuangan dengan proyeksi arus kas yang telah dipersiapkan DB. Konsekuensinya beberapa potensi keuntungan tidak dapat dihitung karena keterbatasan data tersebut. Akibat yang lebih fatal, diduga terjadi kontradiksi skenario perhitungan DB sehingga menyebabkan proyeksi arus kas JICT lebih rendah (under value) dari yang seharusnya.
Sebagai tambahan fakta hukum, Biro Pengadaan PT Pelindo II diduga meloloskan DB meski tidak lulus tahap administrasi dan memiliki conflict of interest. DB diduga merangkap pekerjaan sebagai negosiator (kontrak JICT), lender (peminjam dana kepada Pelindo II) dan arranger (mencarikan dana bagi Pelindo II).
"Dari uraian di atas, kasus dugaan korupsi JICT seharusnya sudah terang benderang. Apabila dibiarkan menggantung lama tanpa adanya penetapan tersangka, maka MAKI akan segera mengajukan praperadilan terhadap Kejaksaan Agung," kata Boyamin ihwal rencana melayangkan praperadilan di kasus PT Pelindo II.