JAKARTA(TEROPONGSENAYAN)-Brigjen TNI Junior Tumilaar telah dicopot dari jabatannya sebagai Inspektur Kodam XIII Merdeka gegara menyurati Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Tak hanya itu, perwira tinggi pembela rakyat ini malah dipidanakan oleh Puspom AD.
Diketahui, Puspom AD juga akan memproses Junior melalui peradilan militer karena perbuatannya dianggap pelanggaran hukum disiplin militer dan hukum pidana militer sesuai Pasal 126 KUHPM dan Pasal 103 ayat (1) KUHPM, dengan ancaman penjara 5 tahun.
Menanggapi hal itu, Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra menilai, pengenaan pasal dalam Tindak Pidana Militer terhadap Brigjend Junior Tumilaar terlampau jauh dengan kualifikasi kejahatan pembangkangan atau tidak tunduk perintah atasan.
"Karena karakteristik perbuatannya cendrung pada fakta yang didominasi masuk kategori pelanggaran disiplin atau kode etik prajurit jadi bukan tindak pidana militer, karena unsur melawan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 126 KUHPM dan Pasal 103 ayat (1) KUHPM belum terpenuhi," kata Azmi Syahputra kepada wartawan, Selasa(12/10/2021).
Untuk itu, Pakar Hukum Pidana ini memaparkan beberapa alasan yang dapat dijadikan pertimbangan hukum guna menghilangkan sifat melawan hukum materil dikaitkan dengan tindakan Brigjend Junior yaitu antara lain:
1.harus dilihat apakah perbuatan mempunyai tujuan nyata yang memberikan manfaat terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang undang;
2. Melindungi suatu kepentingan hukum yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepentingan hukum yang dituju oleh perumusan tindak pidana yang dilanggarnya;
3. mempunyai nilai yang lebih besar bagi kepentingan masyarakat dibandingkan dengan kepentingan diri sendiri.
Selain itu, lanjut Azmi, kode etik Prajurit TNI Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan 8 Wajib TNI memang memiliki nilai luhur dan refleksi prajurit yg berasal dari rakyat untuk rakyat.
"Meskipun demikian perlu dilakukan penyisiran fakta dan diklarifikasi, apakah betul Babinsa yang dipanggil polisi bertugas sebagai bintara desa di lokasi objek sengketa tanah?," tanya Azmi Syahputra.
Maka dari itu, Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti ini mengatakan, jika betul tinggalnya di desa objek tanah, sebagai prajurit yang memperhatikan permasalahan atau kesulitan rakyat di sekelilingnya semestinya wajar mempelopori dan mengupayakan maksimal atau memfasilitasi permasalahan tersebut mengadukan kepada Kepala Desa atau lembaga lain yang berwenang.
"Namun jika objek tanah tidak di desa wilayah tugas Babinsa, ini perlu sikap yang lebih cermat, karena bisa menjadi catatan atau ruang celah keliru, karena patut diduga tindakannya ke arah perbuatan "backing dalam perkara perdata", dan ini menjadi perbuatan larangan sesuai Surat Telegram Panglima tentang larangan anggota mencampuri urusan perdata orang lain," jelas Azmi Syahputra.
"Yang jelas bukanlah kesalahan bagi prajurit yang melindungi rakyat apalagi dalam kesulitan namun dibatasi tidak boleh mencampuri atau jadi backing dalam persinggungan perkara perdata orang lain," lanjut Azmi Syahputra.
Bagi Azmi Syahputra, titik fokus perbuatannya dalam kasus ini adalah berupa membuat surat terbuka di medsos,dan ini diatur dalam Surat Telegram (ST) Panglima TNI maupun ST Kasad Nomor ST/428/2020 tanggal 18 Agustus 2020 tentang tata cara penggunaan medsos, dan termasuk dalam hal ini ada tanggung jawab dirinya selalu Perwira Tinggi membangun sinergis dengan Polri.
"Jadi mengacu pada perbuatan yang dilakukan oleh dirinya, hal ini merupakan pelanggaran hukum disiplin, sehingga kiranya bila diterapkan ketentuan pidana sebagaimana Pasal 126 dan 103 ayat (1) KUHPMiliter terlalu jauh karena belum terpenuhi unsurnya," tutup Azmi Syahputra.