SAMARINDA (TEROPONGSENAYAN) --Edi Firmansyah,SH.MH selaku ketua PTUN Samarinda dituding sebagai Oknum PTUN dan digugat 3 warga Samarinda di PN Samarinda.
Ketiga warga yakni Hanry Sulistio, Abdul Rahim dan Faizal Amri. Gugatan itu teregistrasi dengan Nomor 225/Pdt.G/2021/PN Smr di SIPP PN Samarinda.
Alasan digugatnya Edi dan Arifuddin karena ketiganya menuding keduanya tidak berintegritas kepada pancasila dan UUD1945.
Sebelumnya, ketiga warga juga mengugat Institusi Polri dengan Nomor Perkara 47/G/TF/2021/PTUN SMD. Namun, didismisal oleh Edi.
"Kami seolah dipermainkan dengan cara yang tidak bertanggungjawab," ujar Abdul Rahim kepada awak media di Samarinda, belum lama ini.
"Bagaimana kami tidak kesal, pada awalnya kami masukan gugatan perkara nomor 47/G/TF/2021/PTUN SMD pada tanggal 23 Desember 2021 kemudian kami ditemui panitera dan Hakim PTUN bernama Arifuddin bahwa gugatan kami terkendala kopetensi relatif karena gugatan ditujukan kepada kapolri," kata Arif.
"Sehingga harus menyertakan kapolda agar gugatan dapat diterima di PTUN Samarinda, namun kami luruskan bahwa gugatan kami ditujukan kepada institusi kepolisian bukan ke kapolri atau kapolda yang pada akhirnya Arifuddin dan panitera sepakat untuk menerima gugatan kami dan gugatan segera diregister," sambung dia.
Namun, kata Rahim, setelah gugatan itu masuk, pihaknya dikagetkan bahwa gugatan akan dibacakan penetapan dismisal, pada 30 Desember 2021 melalui surat yang dikirimkan pada tanggal 24 Desember 2021 tanpa agenda sidang persiapan.
Karena hal ini, Rahim menilai mereka dipermainkan. Pada, 29 Desember 2021 Rahim dkk datang meminta penetapan dibatalkan.
"Karena kami ini kooperatif dan bersedia mengubah dan memperbaiki gugatan terkait subjek hukum mengingat penetapan dismisalkan belum dibacakan artinya belum sah, untuk apa bersidang hal-hal tidak perlu," kata Rahim bernada kesal.
"Kami ini etikad baik bersedia mengubah subjek hukum kalau itu yang menjadi persoalan, jangan malah perbaikan gugatan kita ditolak dan memaksa kami bersidang dan berlawan, untuk apa itu semua," sambung dia.
Dijelaskan Rahim, gugatannya bersama dua rekannya ke Institusi Polri bersifat mendesak dan penting, karena bagi ketiganya Institusi Polri membela oknum polisi dalam persidangan perkara nomor 142/Pdt.G/2020/PN Smr.
Sebelumnya, ketiga warga ini pernah menggugat 12 oknum polisi di Pengadilan Negeri Samarinda.
Dalam gugatan tersebut, bernomor 142/Pdt.G/2020/PN Smr disebutkan oknum polisi menolak laporan atau menghalangi interaksi ketiga warga ini. Menurut ketiganya, gugatan ke 12 oknum polisi tersebut justru dilindungi dan didampingi institusi polri. Bentuk perlindungan karena institusi polisi memberikan menjadi kuasa hukum oknum-oknumnya sendiri dalam persidangan tersebut.
"Kami melapor kejahatan mafia tanah berserta antek-anteknya sejak 2017, ini kan semestinya didukung dan diapresiasi bayangkan kejahatan tidak bisa dilapor oleh karena oknum - oknumnya digugat, malah istitusi polri yang melindungi, ya kami gugatlah istitusi polri kalau begitu," tegas Rahim.
Atas kekesalan itu, Rahim mempertanyakan alasan PTUN dismisal tanpa memberi kesempatan untuk memperbaiki gugatan dengan cara memaksa melawan penetapan dismisal. Padahal, bagi dia, hanya sia-sia dan menghabisakan waktu saja.
"Dalam acara peradilan PTUN itu diperkenankan memperbaiki gugatan, bukan serta merta dismisal, apalagi kami kan sudah sepakat dengan hakim PTUN bahwa gugatan kepada institusi Polri sudah benar dan tepat, kenapa gugatan didismisal seakan kami ini bebal tidak kooperatif," ungkap Rahim.
Penggugat lain, Hanry Sulistio menerangkan kekecewaan terhadap sikap Edi yang dia sebut tidak bertanggungjawab karena tidak mau membuat surat otentik terhadap alasannya menolak perbaikan surat gugatan dan secara sepihak memaksa kami melakukan perlawanan kepada penetapan dismisal.
"Jelas ini pelanggaran hukum bahkan pengkhianatan kepada pancasila dan UUD 1945 dan pelanggaran terhadap asas peradilan cepat, sederhana dan ringan melainkan mengada-ada atau institusi hukum guna mempersulit kami sebagai pencari keadilan," tegas Hanry Sulistio.
Penggugat terakhir, Faizal juga kesal. Sebab kata dia, saat itu ketiganya ditemui oleh panitera muda bidang hukum bahwa dia akan sampaikan tujuan ketiga datang kepada Edi selaku ketua PTUN.
Namun, kata Faizal, mereka menunggu dari pukul 09.30 Wita hingga 16.00 Wita, namun tak ada informasi. Mereka bahkan diminta pulang oleh seorang staf dan diminta melakukan perlawanan saja di sidang perlawanan dismisal.
"Ini perbuatan tidak terpuji dan sangat kami sayangkan perilaku yang tidak berintegritas pada pancasila dan UUD 1945 dan keluar dari tugasnya sebagai ketua PTUN kalau sikapnya seperti ini," tegas Faizal.
"Sebab, dia menyuruh kami bersidang secara sia-sia, aneh bukan?," tanya dia.
"Bersidang itu kalau ada konflik atau persengketaan, ini kami kooperatif kenapa harus bersidang perlawanan dismisal yang sejatinya itu tidak perlu ada karena para pengugat komperatif dan beretikad baik," sambunya.
Atas dasar tersebut, Faizal bilang ada unsur mengada-ada peristiwa yang tidak bersesuain dengan peraturan perundang-undangan bahkan melawan hukum.
"Karena dia (Edi) tidak memberi penjelasan tertulis atas penolakan perbaikan surat gugatan kami," pungkas Faizal.
Humas PTUN Samarinda, Darma SB Purba mengaku pihaknya belum mendapat konfirmasi dari PN terkait gugatan tersebut.
Karena itu ia meminta agar awak media mengkonfirmasi langsung ke PN Samarinda.
"Kami belum terima informasi itu, silahkan ke PN saja," ungkap dia saat ditemui media di kantor PTUN Samarinda, 31 Desember 2021 lalu.