JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)-Kalangan DPR RI mengingatkan agar pemerintah tidak serta merta mengikuti permintaan pihak China terkait bengkaknya biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Diketahui, baru-baru ini pihak China meminta pemerintah Indonesia untuk membiayai pembengkakan proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi VI DPR RI, Rudi Hartono Bangun mewanti-wanti agar pemerintah tidak langsung mengiyakan permintaan pihak China tersebut.
Rudi menyarankan agar pemerintah membuka kembali isi perjanjian terkait proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dengan pihak China.
"Menurut saya pemerintah harus melihat kembali isi agreement atau perjanjian awal dengan China. Mulai dari melihat soal skema pembiayaannya dan pasal-pasal jika antara kedua pihak tidak menjalankan isi perjanjian yang disepakati," ucap Anggota DPR Fraksi Partai NasDem itu kepada wartawan, Senin (01/08/2022).
Lebih lanjut Rudi juga menilai, pembengkakan biaya tersebut seolah menegaskan bahwa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tanpa didasari kajian dan perencanaan yang memadai.
"Karena jika dilihat dan amati pembengkakan biaya dari mulai 5.5milyar dollar kemudian naik jadi 6 miliar dollar lalu sekarang jadi 7.8 miliar dollar sepertinya angka pembengkakannya sekonyog-konyong tanpa estimasi perhitungan yang tepat dari awal memulai perencanaan," tandas Rudi.
Rudi kembali menegaskan agar Pemerintah Indonesia meminta master plan (rencana induk) proyek kereta cepat ini dari awal perencanaan hingga detail anggaran biayanya.
"Termasuk soal biaya komponen apa saja yang menyebabkan adanya klaim pembengkakan sebanyak itu," tegas Rudi.
Agar klaim pembengkakan tersebut teruji alias benar adanya, Rudi menyarankan agar pemerintah terlebih dahulu melakukan audit secara komprehensif. Tidak serta merta mempercayai klaim pembengkakan begitu saja.
"Harus di audit jelas oleh lembaga yang independen. Kalau di lihat dari sisi konstruksi biasanya komponen yang tiap tahun naik harganya adalah tanah. Sementara komponen tanah sudah ada dan tersedia. Jadi dari sisi mana lagi yang dibuat bengkak?biayanya?" kata Rudi terheran-heran.
Rudi juga mendorong agar pihak yang mengklaim adanya pembengkakan biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tersebut di audit secara ketat.
"Yang mengklaim pembengkakan biaya pembangunan harus diperiksa dan di audit tidak bisa hanya modal ngomong lalu seluruh rakyat Indonesia disuruh menanggung pembengkakan biaya yang tiap beberapa bulan di klaim bengkak. Karena jika dibebankan ke APBN RI sama saja uang pajak rakyat untuk nutupi klaim biaya bengkak tadi," tegasnya lagi.
Dan jika merujuk pada amanat UU keterbukaan informasi publik tahun 2008, Rudi menegaskan, sudah seharusnya para pemangku kebijakan terkait proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung mengedepankan asas transparansi.
"Harus dipaksa transparan dan di publish ke rakyat bagaimana sebenarnya skema dan planing pembangunan kereta cepat ini," tandasnya.
Kendati demikian, Rudi mengatakan, proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung tersebut jika memang ditujukan untuk meningkatkan perekonomian dan memajukan negara tidaklah jadi masalah.
Hanya saja, kata dia, jika proyek tersebut ditujukan untuk sekedar mencari profit atau keuntungan belaka tanpa mengindahkan kepentingan rakyat maka hal tersebut perlu untuk dikritisi.
"Jika kemajuan dan sarana kereta cepat ini ditujukan untuk kita, rakyat bisa terima dan harus terima karena untuk kemajuan suatu negara. Tapi anggaran biaya untuk membangun dan klaim dari kontraktor terkait adanya pembengkakan yang tiap beberapa bulan nilainya milyaran dollar rakyat juga harus tahu penjelasannya. Karena projek ini akan menjadi aset milik negara dan juga milik rakyat Indonesia," tandasnya.
Seperti diketahui, dilansir dari detik.com, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung awalnya diestimasi hanya memakan biaya US$ 5,5 miliar, kemudian membengkak jadi US$ 5,8 miliar dan meningkat lagi jadi US$ 6,07 miliar. Saat itu ditargetkan pembangunannya bisa selesai 2019.
Terbaru, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung diperkirakan mengalami pembengkakan biaya lmencapai US$ 1,176-1,9 miliar, menjadi maksimal US$ 7,97 miliar. Hasil audit BPKP pembengkakan berada di angka US$ 1,176 miliar.