JAKARTA (TEROPONGSENAYAn) - Taksi Uber dan G+-Jek lagi ramai menjadi perbincangan masyarakat ibu kota. Oleh sebagian masyarakat ibu kota, kedua jenis transportasi itu dianggap sebagai alternatif di tengah kemacetan dan sulitnya mendapat sarana transportasi.
Belum lama ini sopir Taksi Uber ditangkap Organda dan Polisi. Sementara itu, banyak pengemudi ojek Go-Jek yang diteror dan diancam oleh ojek-ojek konvensional. Taksi Uber dan Gojek dianggap sebagai 'musuh' taksi dan ojek konvensional.
Pengamat masalah perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna menilai Taksi Uber dan Go-Jek punya kelebihan dan kekurangan. Sebagian masyarakat menganggap keduanya sebagai alternatif karena bisa didapat dengan cepat, lebih nyaman dan ada rasa lebih pribadi.
"Ada banyak kelebihan yang ditawarkan Taksi Uber dibandingkan taksi konvensional," ujar Yayat dalam perbincangan dengan TeropongSenayan, Sabtu (20/6/2015).
Soal legalitas, Yayat mengatakan, pengelola aplikasi Taksi Uber dan Go-Jek adalah sah alias legal. Tetapi, yang tidak legal adalah pemilik mobil yang menjadi mitra Taksi Uber dan pemilik motor Go-Jek. Jadi, lanjut Yayat, kalau ada hal-hal berkaitan dengan kerugian atau kecelakaan penumpang, Taksi Uber atau Gojek akan lepas tanggung jawab. Mereka berkilah hanya sebagai operator aplikasi yang menghubungkan konsumen dengan pemilik kendaraan.
"Di situ letak kerawanannya bagi konsumen," tegas Yayat.
Yayat menambahkan, taksi Uber dan Go-Jek tak ubahnya seperti angkutan plat hitam atau taksi gelap yang mangkal di bandara atau stasiun kereta api. Dan fenomena angkutan tak berizin, papar Yayat, tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi terdapat juga di Amerika, India dan Eropa.
"Jika saat ini Organda mempermasalahkan keberadaan Taksi Uber dan tukang ojek marah-marah sama Go-Jek karena mereka merasa pasarnya terancam berkurang," paparnya. (iy)