JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang tengah digodok DPR, terus mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Terutama terkait poin mengenai kewenangan BPJS yang semula langsung di bawah presiden menjadi di bawah menteri. Untuk BPJS Kesehatan di bawah Menteri Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan di bawah Menteri Ketenagakerjaan. Hal itu diungkapkan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
“Di seluruh dunia tidak ada namanya jaminan sosial (BPJS) itu di bawah menteri, seluruh lembaga BPJS di seluruh dunia itu di bawah presiden atau perdana menteri, jadi di bawah langsung kepala pemerintahan,” ungkap Said Iqbal.
Iqbal merinci hal-hal yang menjadi dasarnya. Pertama, akumulasi modal mereka itu berasal dari dana publik. BPJS itu bukan dari dana pemerintah, memang ada yang namanya Penerima Bantuan Iuran (PBI) pada BPJS Kesehatan, tapi jelas itu sudah diatur dalam undang-undang (UU). Dan, buruh juga membayar iuran sebesar 1 persen, serta pengusaha 4 persen. Jadi akumulasi uang di BPJS Kesehatan itu bukan punya pemerintah.
“Apalagi dana yang ada di BPJS Ketenagakerjaan, semua dananya milik buruh dan dana pengusaha, bukan milik pemerintah,” ungkap Iqbal.
Lebih lanjut dia mengatakan, menteri hanya pembantu presiden, tidak punya kapabilitas untuk mengatur pengelolaan dana publik. Sehingga, tidak boleh menteri mengelola dana publik.
“Jadi kalau sampai BPJS di bawah menteri, dengan kata lain, ini abuse of power (penyalahgunaan wewenang jabatan). Kemudian, dalam UU BPJS, Dewan Pengawas (Dewas) BPJS itu disebut wali amanah, nah kalau wali amanah itu gak boleh di bawah seorang menteri, Dewas itu harus independen,” tegas Iqbal.
Memperpanjang Birokrasi
Di sisi lain, jika RUU Kesehatan ini sampai disahkan, Dewas dari BPJS juga akan diatur oleh kementerian. Dari yang awalnya ada 7 anggota dewas, 2 orangnya dari unsur pemerintah, maka dengan adanya RUU Kesehatan ini akan ditambah 4 orang yang dari unsur pemerintah. BPJS ini kan uang rakyat, seharusnya yang ditambah itu dari unsur buruh, bukan dari unsur pemerintah.
Salah satu prinsip pengelolaan BPJS itu adalah suistainable (keberlangsungan). Kalau ada sesuatu gejolak, maka presiden punya hak dalam menambah dana BPJS, sedangkan menteri tidak bisa, harus melapor ke presiden.
Selain itu, Jika BPJS di bawah menteri, maka nanti laporan BPJS juga akan disesuaikan dengan menteri. Dengan begitu, proses birokrasi akan semakin panjang. Peserta juga dinilai akan merasa tidak aman. “Sebab, jika menterinya salah dalam mengelola uang peserta bagaimana, kita juga tahu peraturan menteri itu kan berganti-ganti terus,” pungkas Iqbal.
*Rawan Penyelewengan*
Senada dengan itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar mengatakan, salah satu yang akan direvisi dalam RUU Kesehatan ini adalah UU BPJS, sehingga jangan sampai BPJS itu seperti dulu lagi di bawah menteri yaitu Menteri BUMN.
Kemudian, ada pasal yang mengatakan bahwa direksi wajib menjalankan penugasan dari Menteri. Hal ini yang kemudian akan menjadi potensi intervensi. Begitu juga dalam pelaporan yang menyangkut BPJS, akan diintervensi oleh menteri, tidak langsung dilaporkan kepada presiden.
“Dewan Pengawas dan Direksi dari BPJS akan diseleksi. Nanti ketua pantia seleksinya, ya menteri, jadi dari hulu ke hilir akan diatur menteri (pemerintah). Ini kan sama juga dengan bagaimana memposisikan Direksi dan Dewas di bawah Menteri,” tutur Timboel.
Dia menyebut, dana BPJS Ketenagakerjaan saat ini sekitar Rp630 triliun. Begitu juga BPJS Kesehatan, pendapatan iurannya Rp144 triliun. Aset bersih sudah Rp56 triliun. “Jadi dana amanah ini jangan sampai disalahgunakan. Dihawatirkan jika Lembaga BPJS di bawah Menteri, maka akan berpotensi penyalahgunaan dana BPJS. Begitu juga dengan pelayanan akan terintervensi. Misalnya jika investasi gagal, artinya nantinya manfaat ke peserta akan berkurang,” jelasnya.
Padahal, menurut dia, pengelolaan dana BPJS, baik itu BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan, saat ini sudah bagus. Jika sekarang indepensinya diganggu, maka akan ada potensi uang yang diselewengkan. Kalaupun pemerintah mau merevisi manfaatnya, boleh saja, tapi jangan merevisi organ dari BPJS.