Oleh Sahlan Ake pada hari Jumat, 29 Sep 2023 - 15:02:10 WIB
Bagikan Berita ini :

Pengawasan DPR Terhadap Aturan Larangan TikTok Shop Cs Penting Demi Iklim Usaha yang Sehat

tscom_news_photo_1695974530.jpg
Pakar Digital, Anthony Leong (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Dukungan DPR RI terhadap kebijakan larangan berjualan di media sosial, salah satunya TikTok, dinilai sebagai bentuk dukungan agar terciptanya keadilan berusaha bagi seluruh pedagang. Pemerintah pun didorong untuk memperhatikan pesan DPR yang meminta aturan atau regulasi turunan dari kebijakan ini berlandaskan pada unsur keseimbangan antara pasar digital dan konvensional.

Hal tersebut disampaikan oleh Pakar Digital, Anthony Leong yang menilai gerak cepat Pemerintah dan DPR berkolaborasi melahirkan kebijakan tersebut sudah sangat tepat. Lahirnya aturan baru itu dianggap sebagai bukti lembaga legislatif dan eksekutif menjunjung tinggi setiap aduan masyarakat.

"DPR dan Pemerintah cepat tanggap menghadapi problematika yang ada di masyarakat. Tentunya kolaborasi ini sangat baik karena kita perlu menjaga ekosistem usaha yang baik, bagaimana keseimbangan dunia online dan offline," kata Anthony Leong, Jumat (29/9/2023).

Larangan praktik social commerce di mana media sosial dan e-commerce (perdagangan elektronik) harus dipisahkan lahir seiring terbitnya Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha. Kebijakan ini sebagai respons atas sepinya pasar-pasar konvensional buntut perdagangan digital yang menawarkan harga sangat murah di social commerce.

Kegelisahan pedagang konvensional tersebut pun banyak disuarakan oleh DPR. Anthony mengapresiasi dukungan dari DPR itu sehingga Pemerintah segera mengeluarkan kebijakan demi membantu pedagang di pasar-pasar konvensional.

“Suara-suara dari DPR sudah ada sejak isu ini belum terlalu menjadi sorotan. Jadi desakan dari DPR sangat berperan atas lahirnya kebijakan dari Pemerintah agar ada keberimbangan perdagangan di ranah digital dan konvensional,” sebut Wakil Sekretaris Jenderal BPP HIPMI ini.

Anthony mengatakan, praktik social commerce seperti TikTok Shop yang mengombinasikan konsep media sosial dan e-commerce dalam satu platform belakangan telah mendominasi perdagangan di Indonesia. Menurutnya, hal tersebut mempengaruhi keseimbangan perdagangan.

"Bagaimana juga aplikasi yang ada di luar negeri seperti TikTok Shop sangat mendominasi sekarang dan melangkahi batas-batas kewajaran harga. Tentunya mereka juga bisa menguasai kita dalam bentuk algoritma, dalam bentuk behaviour dan sebagainya," jelas Anthony.

Langkah antisipasi dari DPR dan Pemerintah terkait larangan TikTok Shop bertransaksi jual beli dinilai menjadi langkah tepat untuk melindungi pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan pedagang di pasar-pasar konvensional. Apabila tidak ada intervensi, kata Anthony, praktik social commerce dapat mematikan pasar konvensional.

"Tentu ini bentuk antisipasi juga dalam rangka upaya penyelamatan UMKM di Indonesia. Dan kita memang harus tegas terhadap aplikasi dari luar seperti Tiktok yang menguasai market kita dengan sangat luar biasa ini," jelas CEO Menara Digital itu.

Terlepas dari terbitnya Permendag Nomor 31 Tahun 2023, Anthony memaparkan bahwa sudah banyak pasar konvensional di Indonesia yang mulai ditinggalkan oleh pelanggannya. Penyebabnya ialah, perkembangan industri teknologi digital yang merambah ke praktik jual beli.

“Tak hanya membantu perlindungan terhadap UMKM, peraturan yang baru diterbitkan juga memastikan terdapat pemisah antara media sosial dan e-commerce sehingga tidak dimonopoli satu platform,” ungkap Anthony.

Melalui Permendag Nomor 31 Tahun 2023, media sosial seperti TikTok, Instagram, Facebook, dan Twitter dilarang digunakan untuk berjualan. Platform media sosial kini hanya boleh digunakan dalam memfasilitasi promosi, bukan untuk tempat transaksi jual beli.

Jika tetap melakukan transaksi jual beli, misalnya di Live TikTok, platform medsos tersebut akan dikenakan sanksi, bahkan ancamannya sampai penutupan platform media sosial. Aturan tersebut sebagai upaya untuk mengatur lebih tegas usaha di lini digital agar tidak mematikan pelaku UMKM dalam negeri yang masih menjajakan dagangannya melalui cara konvensional.

Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) tersebut pun menilai kebijakan baru terkait praktik social commerce ini dapat menjadi penghalang bentuk-bentuk monopoli platform media sosial yang merambah dunia e-commerce. Terutama, disampaikan Anthony, bagi TikTok Shop yang juga dikeluhkan pelaku usaha digital dari platform khusus perdagangan elektronik.

"Kebijakan ini menjadi benteng terhadap potensi TikTok menggunakan alogaritma penggunanya yang dimanfaatkan sebagai langkah predatory pricing sehingga lebih mampu melindungi pelaku usaha UMKM yang menjual produk serupa di e-commerce," ujarnya.

Meski begitu, Anthony berharap Pemerintah dapat menciptakan regulasi turunan yang akan memberikan keseimbangan dan keadilan antara pelaku usaha online dan konvensional. Hal ini sejalan dengan pesan yang disampaikan DPR.

Anthony bahkan mendorong Pemerintah menggagas dibuatnya platform khusus bagi para pelaku UMKM lokal. Dengan demikian, produk UMKM Indonesia tidak kalah saing dengan produk-produk luar negeri.

"Seperti yang diingatkan DPR, Pemerintah harus bisa meng-create suatu regulasi dalam melindungi UMKM kita ke depan. Misalnya dengan mengedepankan aplikasi yang berfokus pada produk lokal Indonesia. Jadi kita bisa menyaingi aplikasi-aplikasi luar," imbaunya.

“Market kita besar, jadi harus ada regulasi yang mendukung, yang berpihak untuk produsen dan konsumen di dalam negeri. Sehingga devisa tidak ke luar,” tambah Anthony.

Terkait keluhan dari konten kreator pasca dikeluarkannya Permendag Nomor 31 Tahun 2023, Anthony menilai aturan baru itu sebenarnya tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi pelaku endorse.

Hal ini lantaran para konten kreator masih bisa membuat promosi jualan di media sosial yang diarahkan untuk membeli barang yang dipromosikan melalui platform e-commerce atau toko konvensional.

"Karena mereka tetap bisa mempromosikan produk-produk yang mereka endorse sehingga tak akan menghilangkan mata pencaharian para kreator sehingga iklim ekonomi digital tetap terjaga dengan baik," jelas Anthony.

Di sisi lain, Anthony berharap DPR terus memberikan penguatan peran dalam mengawal aturan baru tersebut.

“Sebagai wakil rakyat, DPR bisa memberikan masukan pendukung akan regulasi yang inklusif ini dengan menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara pelaku usaha konvensional dan digital,” tuturnya.

“Pengawasan dari DPR penting demi terciptanya iklim usaha yang sehat, khususnya pada penerapan aturan baru ini. Pengawalan dari DPR dapat membantu hadirnya keadilan bagi pelaku usaha digital dan konvensional,” sambung Anthony.

Anthony juga meminta DPR mendorong Pemerintah untuk memperhatikan konsumen yang tidak dapat membeli barang secara langsung karena domisili di tempat terpencil.

“Maka memang solusi digital dapat membantu menciptakan akses yang lebih luas ke berbagai produk, sehingga mendukung perekonomian di daerah-daerah terpencil," sebutnya.

Lebih lanjut, DPR dan Pemerintah diharapkan mempertimbangkan berbagai perspektif lain dalam merumuskan regulasi yang akan datang. Dengan langkah tersebut, diharapkan perkembangan dunia usaha di Indonesia dapat sehat dan terus mengalami kemajuan.

"Dalam mengembangkan regulasi, tidak hanya melihat dari segi ukuran usaha tetapi juga berdasarkan risiko dan dampak yang dihasilkan. Ini akan membantu mendorong inovasi dan daya saing yang seimbang antara berbagai jenis usaha," tegas Anthony.

Sebelumnya, Ketua DPR RI Puan Maharani menyoroti aturan baru yang dikeluarkan Pemerintah terkait praktik social commerce seperti TikTok Shop. Ia pun mendukung sepenuhnya bahwa media sosial kini dilarang digunakan untuk berjualan.

“DPR berharap aturan baru yang dikeluarkan terkait usaha di media sosial dapat menciptakan keseimbangan antara pasar digital dan konvensional. Dengan regulasi yang cermat dan tepat, Pemerintah harus memastikan perkembangan ekonomi di Indonesia tetap adil dan berkelanjutan,” kata Puan, Rabu (27/9).

Puan pun memandang diperlukan strategi lanjutan guna menciptakan keadilan antara pelaku usaha digital dan konvensional.

“Setelah membuat regulasinya, saatnya Pemerintah menciptakan strategi lanjutan yang tetap menjunjung keadilan bagi seluruh pelaku usaha. Jangan sampai aturan yang baru malah menjadi boomerang bagi Negara untuk mencapai target era ekonomi digital,” ungkap mantan Menko PMK itu.

Menurut data TikTok Indonesia, ada sekitar 6 juta pelaku usaha lokal yang menggantungkan usahanya melalui jasa social commerce. Lalu ada sekitar 7 juta creator affiliate yang menggunakan platform Tiktok Shop.

Berkaca dari hal itu, Puan berharap Pemerintah menghadirkan regulasi yang win win solution dan berpihak untuk semua pihak. Hal ini mengingat pesatnya perkembangan teknologi sangat berpengaruh pada industri perdagangan.

“Maka harus diimbangi dengan regulasi yang tepat. Sehingga ke depannya Indonesia bisa ambil bagian dalam perkembangan era ekonomi digital,” jelas Puan.

Hal senada juga disampaikan Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade yang mengingatkan agar aturan baru terkait praktik social commerce dapat menciptakan perilaku adil bagi pelaku usaha konvensional dan digital.

"Banyak pelaku UMKM mengandalkan platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan lainnya untuk mempromosikan produk dan layanan mereka, serta menjalankan transaksi secara online. Ini juga harus dipikirkan seperti apa teknis terbaik dalam proses kelanjutan transaksi jual belinya antara seller dan buyer jika hanya promosi saja yang diperbolehkan,” papar Andre, Selasa (26/9).

Andre berharap, aturan turunan dari Permendag Nomor 31 Tahun 2023 dapat membatasi aktivitas social commerce yang banyak dikeluhkan pedagang konvensional.

“Dengan larangan berjualan dan bertransaksi, pengusaha akan lebih fokus pada kegiatan promosi. Ini dapat membantu mereka meningkatkan visibilitas dan kesadaran merek mereka di media sosial,” terang Andre.

“Selain itu dalam beberapa kasus, pengusaha dapat menghindari persaingan harga yang sering terjadi di media sosial. Mereka juga dapat lebih fokus pada nilai tambah produk atau layanan mereka daripada hanya menawarkan harga yang lebih rendah,” tutupnya.

tag: #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement