JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengkritik Rancangan Undang - Undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) yang tetap disetujui oleh rapat paripurna DPRRI bersama Pemerintah, sekalipun ditolak oleh PKS, karena kandungan RUU itu ada yang tidak sesuai dengan ketentuan Konstitusi dan tidak memberikan keadilan bagi Rakyat Jakarta.
Karena Rakyat di Jakarta juga mengaspirasikan untuk dapat melaksanakan hak konstitusionalnya seperti Rakyat di daerah-daerah khusus lainnya yaitu memilih langsung Walikota/bupati serta memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di tingkat kota/kabupaten yang dipilih memalui Pemilihan Umum sesuai aturan Konstitusi.
Sekalipun demikian HNW sapaan akrabnya mengapresiasi diakomodasinya sikap awal FPKS yg sendirian menolak draft RUU DKJ yang menentukan bahwa Gubernur/Wakil Gubernur Jakarta ditunjuk/dipilih oleh Presiden.
Usaha awal untuk ‘membonsai’ demokrasi dan membajak hak Rakyat ketika awalnya dalam Pasal 10 ayat (2) RUU DKJ mengatur bahwa Gubernur/Wakil Gubernur dipilih atau ditunjuk oleh Presiden gagal, karena akhirnya DPR dan Pemerintah sepakat bahwa Gubernur/wakil Gubernur tetap dipilih melalui Pilkada.
“Alhamdulillah usaha membonsai demokrasi dengan menghilangkan pemilihan langsung gubernur oleh rakyat menjadi ditunjuk oleh presiden sebagaimana draf awal RUU DKJ gagal dilakukan. Bila sebelumnya hanya ditolak secara resmi oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), akhirnya DPR dan Pemerintah juga menerima penolakan tersebut, sehingga Gubernur DKI Jakarta dipilih melalui pemilihan umum oleh rakyat,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (29/3).
Meski begitu, HNW sapaan akrabnya menyayangkan sikap DPR dan Pemerintah yang terburu-buru mengesahkan dan tidak maksimal melibatkan banyak pihak terkait dan menggali aspirasi masyarakat Jakarta yang ingin menjadi terdepan dalam berdemokrasi dengan mendapatkan keadilan untuk melaksanakan hak konstitusional dengan memilih walikota/bupati secara langsung serta memiliki perwakilan di tingkat kabupaten/kota sebagaimana di daerah-daerah lain di Indonesia, termasuk di daerah-daerah yang bersifat khusus, seperti Nangroe Aceh Darusalam, Yogyakarta, dan Papua.
“Sayangnya poin-poin mendasar dalam berdemokrasi dan melaksanakan ketentuan konstitusi tersebut tidak serius dipertimbangkan,” ujarnya.
Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Jakarta II ini menyampaikan bahwa dirinya memperoleh aspirasi dari sejumlah masyarakat di Jakarta yang sebenarnya menginginkan agar Jakarta setelah tidak lagi menjadi daerah khusus ibukota negara Republik Indonesia diberikan hak yang sama seperti daerah-daerah khusus lainnya, yakni dapat memilih langsung Walikota/bupati dan memiliki lembaga perwakilan DPRD di tingkat DPRD Kabupaten/Kota.
“Jadi sebenarnya UU DKJ ini tidak memberikan keadilan bagi Jakarta dibanding daerah-daerah khusus lainnya,” ujarnya.
HNW menjelaskan apabila merujuk kepada ketentuan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 secara umum dua poin penting itu diberlakukan terhadap Jakarta. Misalnya, merujuk kepada Pasal 18 ayat (4) bahwa kepala daerah (baik gubernur maupun Walikota/bupati) dipilih secara demokratis dan bukan diangkat oleh presiden atau gubernur sebagaimana dalam UU DKJ ini.
Selain itu, ada pula Pasal 18 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa setiap provinsi dan kabupaten/kota mempunyai DPRD yang dipilih melalui pemilihan umum.
Bila merujuk kepada UU No. 29 Tahun 2007 yang digantikan oleh UU DKJ ini, warga Jakarta memang tidak memilih secara langsung walikota/bupati dan tidak memiliki perwakilan yang dipilih langsung di tingkat kota/kabupaten (DPRD).
“Hal itu dapat dipahami karena status Jakarta yang memang ibukota dan disebutkan bahwa otonomi hanya pada tingkat provinsi. Namun, sekarang dengan adanya perpindahan ibukota, kan status sebagai ibukota itu sudah hilang dan tidak berlaku, sehingga tidak berlaku pula aturan diskriminatif tersebut, dan mestinya ketentuan Konstitusi yang dilaksanakan sebagaiamana diberlakukan untuk daerah-daerah khusus lainnya yang bukan ibukota negara," tukasnya.
HNW juga mengingatkan dahulu memang ada yang sempat mempermasalahkan tidak dipilih langsungnya walikota/bupati dan tidak adanya DPRD di tingkat kota/kabupaten dalam UU No.29/2007 ke Mahkamah Konstitusi (MK), lalu ditolak MK.
“Dahulu bisa dipahami kenapa ditolak karena status Jakarta yang sebagai ibukota. Sekarang status Jakarta sudah berbeda, sehingga seharusnya bila UU DKJ ini diuji ke MK, MK bisa tidak menolak, dan bisa memutus berbeda dengan sebelumnya karena ada fakta baru bahwa Jakarta tidak lagi berstatus khusus sebagai ibukota,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, seharusnya warga Jakarta diperlakukan secara adil dan sama dengan warga daerah-daerah khusus lainnya. “UU DKJ ini secara tidak langsung telah tidak adil dan diskriminatif terhadap warga Jakarta. Padahal warga Jakarta pemilik kedaulatan jumlahnya dua kali lipat lebih dari penduduk di daerah khusus lainnya, seperti Aceh, Yogyakarta maupun Papua. Mestinya mereka mendapat hak memilih sama seperti warga daerah khusus lainnya,” ujarnya.
“Bila dilihat dari demografi penduduk, maka penduduk Jakarta juga kualitas ekonomi dan pendidikannya tidak kalah dengan daerah-daerah khusus lainnya itu. Jadi wajar apabila warga di daerah-daerah khusus itu diberi hak memilih bupati/walikota dan anggota DPRD kabupaten/kota, maka hak memilih itu juga diberikan kepada warga Jakarta yang bahkan sudah memilih langsung Ketua RT dan RW-nya. Dengan demikian Jakarta bisa menjadi contoh terbaik kwalitas dan praktek berdemokrasi, ketika keadilan diwujudkan dan Konstitusi dilaksanakan,” pungkasnya.