Opini
Oleh Agusto Sulistio - JALA Institute pada hari Selasa, 23 Jul 2024 - 05:51:34 WIB
Bagikan Berita ini :

Antara Jokowi dan Erdogan, dari Visi Mulia hingga Ambisi Berkuasa

tscom_news_photo_1721688694.jpeg
Presiden Jokowi (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Jokowi yang pertama kali terpilih sebagai Presiden Indonesia pada 2014 dan kembali terpilih pada 2019, juga datang dengan janji untuk memperbaiki infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan menegakkan hukum serta hak asasi manusia.

Kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan di Turki dan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia dimulai dengan visi dan misi yang ambisius untuk membawa perubahan positif bagi negara mereka. Erdogan, yang menjadi Perdana Menteri Turki pada 2003 dan kemudian Presiden pada 2014, berjanji untuk memperkuat demokrasi, meningkatkan hak asasi manusia, dan mengembangkan ekonomi.

Perubahan Arah dan Penyimpangan

Seiring berjalannya waktu, kedua pemimpin ini mulai menunjukkan penyimpangan dari janji-janji awal mereka. Erdogan, yang awalnya berjanji untuk memperkuat demokrasi, mulai mengkonsolidasikan kekuasaan dan memberangus kebebasan pers serta hak asasi manusia.

Setelah kudeta gagal pada 15 Juli 2016, Erdoğan mengambil langkah-langkah drastis untuk membersihkan institusi dari para pendukung kudeta dan memperkuat kekuasaannya, termasuk penangkapan massal dan pemecatan pegawai negeri yang dianggap terkait dengan kudeta .

Di Indonesia, Jokowi, yang awalnya berjanji untuk menegakkan hukum dan hak asasi manusia, mulai menghadapi kritik karena penanganan demonstrasi dan kebijakan yang dianggap menguntungkan pemodal besar. Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 memicu protes besar-besaran karena dianggap merugikan pekerja dan lingkungan, serta lebih menguntungkan investor besar .

Kekuasaan dan Politik Dinasti

Kedua pemimpin ini juga menunjukkan ambisi untuk memperpanjang kekuasaan mereka. Erdoğan berhasil mengubah konstitusi melalui referendum pada 16 April 2017, yang memperkuat kekuasaan presiden dan memungkinkan dirinya untuk tetap berkuasa hingga 2029 jika terpilih kembali.

Di sisi lain, meskipun Jokowi secara resmi menolak usulan masa jabatan presiden tiga periode, diskusi tentang kemungkinan ini muncul di kalangan pendukungnya, menciptakan ketegangan politik.

Politik dinasti juga menjadi ciri khas dari kepemimpinan Erdogan dan Jokowi. Keluarga Erdogan, terutama anak-anaknya, memiliki pengaruh besar dalam bisnis dan politik di Turki. Berat Albayrak, menantu Erdogan, menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Keuangan dari 2018 hingga 2020.

Di Indonesia, anak dan menantu Jokowi mulai terjun ke dunia politik, dengan Gibran Rakabuming Raka menjadi Wali Kota Solo dan kini terpilih menjadi Wakil Presiden periode 2024-2029 (Pilpres 2024 yajg kontroversial), Bobby Nasution menjadi Wali Kota Medan pada 2020, kini akan maju dalam Pilkada Prvibsi Sumatera Utara, dan Kaesang yang sedang diupayakan turun dalam perpolitikan regional di DKI Jakarta atau Jateng. Sebelumnya Kaesang hadapi kontroversi yang keras dari publik atas terpilihnya sebagai Ketua Parpol PSI.

Kebijakan Ekonomi yang Menguntungkan Pemodal

Kebijakan ekonomi Erdoğan dan Jokowi sering kali menguntungkan pemodal besar dan kontraktor yang dekat dengan pemerintah. Erdogan meluncurkan berbagai proyek infrastruktur besar yang sering mendapat kritik karena menguntungkan perusahaan besar dan merugikan lingkungan serta masyarakat lokal. Salah satu contoh adalah Proyek Kanal Istanbul yang dimulai pada 2021.

Jokowi juga fokus pada pembangunan infrastruktur besar-besaran, seperti proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang dimulai pada Januari 2016. Pengesahan UU Cipta Kerja adalah contoh lain di mana kebijakan pemerintah dianggap lebih menguntungkan investor besar dan perusahaan, sementara pekerja dan masyarakat kecil merasa dirugikan.

Ambisi Ibu Kota Baru

Salah satu kebijakan kontroversial Jokowi adalah pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Proyek ambisius ini bertujuan untuk mengurangi beban Jakarta dan mendistribusikan pembangunan lebih merata. Namun, proyek ini menghadapi berbagai tantangan, termasuk minimnya minat investor meskipun pemerintah telah memberikan berbagai insentif, salah satunya adalah kebijakan Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun bagi para investor yang mau berinvestasi di IKN.

Kebijakan ini dianggap menabrak kedaulatan bangsa dan negara. Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Jokowi menawarkan HGU selama 190 tahun untuk menarik investor ke IKN, namun minat dari investor tetap rendah, menimbulkan pertanyaan tentang kelayakan dan keberlanjutan proyek ini.

Kesamaan Gaya Memimpin dan Pergaulan Internasional

Erdogan juga memiliki kebijakan besar yang kontroversial dalam proyek infrastruktur, seperti Proyek Kanal Istanbul. Kanal ini direncanakan untuk menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Marmara, namun menghadapi kritik luas karena dampak lingkungan yang merugikan dan potensi keuntungan besar bagi perusahaan konstruksi besar yang dekat dengan pemerintah.

Contohnya adalah Proyek Kanal Istanbul yang dimulai pada 2021 menghadapi penolakan dari para ahli lingkungan dan masyarakat karena dianggap dapat merusak ekosistem dan lebih menguntungkan perusahaan besar .

Di tengah kontroversi domestik, Erdogan dan Jokowi tetap berusaha menjaga citra positif di kancah internasional. Erdoğan memainkan peran penting dalam berbagai isu regional dan internasional, termasuk krisis pengungsi Suriah dan konflik di Timur Tengah. Di bawah kepemimpinannya, Turki berusaha meningkatkan pengaruhnya di dunia Islam dan memperkuat hubungan dengan negara-negara Eropa dan Asia .

Jokowi, di sisi lain, berusaha memperkuat posisi Indonesia di ASEAN dan dunia internasional. Indonesia menjadi tuan rumah berbagai konferensi internasional dan memainkan peran penting dalam isu-isu seperti perubahan iklim dan perdamaian regional. Jokowi juga menjalin hubungan baik dengan negara-negara besar seperti China dan Amerika Serikat untuk menarik investasi dan mendukung pembangunan nasional.

Janji dan Kebijakan Kepemimpinan Jokowi

Jokowi memulai kepemimpinannya dengan janji membangun Indonesia sebagai "poros maritim dunia," dengan fokus pada pengembangan infrastruktur pelabuhan dan laut. Namun, dalam praktiknya, banyak proyek maritim menghadapi kendala dan lambat dalam pelaksanaannya. Misalnya, proyek pembangunan pelabuhan dan kapal perikanan tidak mencapai target yang diharapkan, yang mengakibatkan ketidakpastian dalam sektor maritim.

Jokowi menjanjikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 6% per tahun. Namun, selama masa kepemimpinannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah mencapai angka tersebut secara konsisten.

Saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi pernah berjanji tidak akan mencalonkan diri sebagai presiden. Namun, pada 2014, Jokowi mencalonkan diri dan terpilih sebagai Presiden, mengingkari janji awalnya. Jokowi juga menyatakan bahwa ia tidak akan melibatkan keluarganya dalam politik. Namun, kenyataannya, anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, terpilih sebagai Wali Kota Solo pada 2020, dan ada spekulasi bahwa Gibran akan menjadi calon wakil presiden pada periode berikutnya .

Selama kepemimpinannya, Jokowi mengalami ketegangan dengan Megawati Soekarnoputri, Ketua Parpol PDIP, yang merupakan partai yang mendukungnya pada pemilihan presiden. Ketegangan ini muncul karena perbedaan visi dan kebijakan, serta pandangan politik yang berbeda antara keduanya, namun belakangan diduga perbedaan akibat ketidak setujuan Megawati Soekarnoputri atas ambisi berkuasa Jokowi.

Selain itu Jokowi adanya kritik karena adanya pandangan Nokowi menggunakan TNI dan POLRI dalam mendukung kekuasaan politiknya, terutama dalam penanganan demonstrasi dan situasi politik yang dianggap menantang kepemimpinannya. (CNN Indonesia, “TNI dan POLRI dalam Penanganan Demonstrasi”, 29 Oktober 2020.)

Jokowi terlihat aktif dalam mempengaruhi pemilihan presiden 2024, yang dikenal sebagai “cawe-cawe,” dengan mendukung calon tertentu dan mengatur strategi politik untuk mendukung anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden, dan jelang mengakhiri masa jabatannya Jokowi hadapi kontroversi, seperti keterlibatannya dalam usulan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), susunan Kabinet, dll.

Gaya Kepemimpinan ala Machiavelli

Gaya kepemimpinan Erdogan dan Jokowi menunjukkan pola-pola otoriter yang sering kali sulit digulingkan. Pemimpin dengan gaya ini cenderung mengkonsolidasikan kekuasaan, memberangus oposisi, dan membangun loyalitas di antara pendukungnya. Selain Erdogan dan Jokowi, contoh pemimpin dengan gaya serupa termasuk Vladimir Putin di Rusia dan Rodrigo Duterte di Filipina.

Vladimir Putin telah memimpin Rusia sejak 1999, baik sebagai Presiden maupun Perdana Menteri, dengan memperkuat kontrol atas media dan mengendalikan oposisi. Rodrigo Duterte, selama masa jabatannya sebagai Presiden Filipina dari 2016 hingga 2022, dikenal dengan kebijakan keras terhadap narkoba yang mengabaikan hak asasi manusia .

Gaya kepemimpinan seperti ini masuk dalam karakter pemimpin otoriter yang cenderung memusatkan kekuasaan dan mengendalikan setiap aspek pemerintahan. Niccolo Machiavelli dalam bukunya *The Prince* (1532) menguraikan karakter pemimpin yang cenderung menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan, termasuk strategi manipulatif dan represif .

Solusi Menghadapi Kepemimpinan Otoriter

Untuk menghadapi dan mengantisipasi gaya kepemimpinan otoriter seperti Erdogan dan Jokowi, beberapa langkah solusinya adalah memperkuat institusi demokrasi seperti parlemen, pengadilan, dan media independen untuk memastikan adanya check and balance terhadap kekuasaan eksekutif.

Meningkatkan kesadaran politik masyarakat agar lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah dan aktif berpartisipasi dalam proses demokrasi. Memperoleh dukungan dari komunitas internasional untuk menekan pemerintah otoriter agar menghormati hak asasi manusia dan prinsip demokrasi, serta mendorong transparansi dalam pemerintahan dan menuntut akuntabilitas dari pemimpin melalui mekanisme hukum dan politik.

Penyimpangan Konstitusi dan Kebijakan Founding Fathers

Baik Erdogan maupun Jokowi dituduh melakukan penyimpangan konstitusi dan tidak sejalan dengan kebijakan para founding fathers. Erdogan mengubah konstitusi Turki melalui referendum pada 16 April 2017, yang mengubah sistem pemerintahan menjadi presidensial dan memperkuat kekuasaannya secara signifikan. Ini dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi parlementer yang dianut oleh pendiri Republik Turki, Mustafa Kemal Ataturk, yang menekankan pentingnya sekularisme dan demokrasi .

Jokowi juga menghadapi kritik bahwa beberapa kebijakannya tidak sejalan dengan semangat ekonomi kerakyatan yang menjadi visi founding fathers Indonesia, seperti yang dicantumkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Pengesahan UU Cipta Kerja dianggap lebih menguntungkan investor besar daripada melindungi hak-hak pekerja dan lingkungan . Selain itu, proyek IKN dianggap melanggar prinsip kedaulatan karena memberikan hak guna usaha yang terlalu panjang kepada investor asing.

Penutup

Kepemimpinan Jokowi dan Erdogan memiliki positif dan negatif baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Keduanya berhasil dalam beberapa aspek pembangunan dan kebijakan luar negeri tetapi menghadapi kritik tajam terkait otoritarianisme, penyimpangan janji kampanye, prinsip ekonomi, penegakkan rule of law dan pengabaian hak-hak dasar.

Reputasi mereka seringkali dipengaruhi oleh keberhasilan atau kegagalan dalam memenuhi janji kampanye serta bagaimana mereka mengelola hubungan dengan oposisi dan masyarakat internasional.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 79 - SOKSI
advertisement
HUT RI 79 - ADIES KADIR
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ketua MA yang Baru Harus Jadikan MA Sebagai Benteng Terakhir Peradilan yang Bisa Dipercaya

Oleh Didi Irawadi Syamsuddin Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat (2019-2024)
pada hari Kamis, 17 Okt 2024
Ketua Mahkamah Agung yang baru harus bisa memulihkan kembali kepercayaan publik bahwa MA benar-benar menjadi benteng terakhir peradilan yang adil & bisa dipercaya.  Meyakinkan publik, ...
Opini

Viva Yoga, Dokter Hewan Andalan Kabinet Prabowo Tangani Transmigrasi

Viva Yoga Mauladi akan segera menapaki jenjang karir dipiramida atas aktivis-politisi yakni anggota Kabinet Presiden Prabowo. Tepatnya menjadi Wakil Menteri Transmigrasi. Viva, politisi PAN ini, ...