Oleh Sahlan Ake pada hari Selasa, 23 Jul 2024 - 09:32:36 WIB
Bagikan Berita ini :

Satu-satunya Dokter Tulang di Sulbar Meninggal, DPR Soroti Kurangnya Spesialis di RI

tscom_news_photo_1721701956.jpg
Arzeti (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Meninggalnya seorang dokter spesialis ortopedi dan traumatologi RSUD Sulawesi Barat (Sulbar), dr. Helmiyadi Kuswardhana menjadi sorotan Komisi IX DPR RI. DPR pun mendorong Pemerintah untuk menciptakan lebih banyak dokter spesialis di Indonesia.

“Saya turut berduka cita atas meninggalnya dr. Helmiyadi yang menjadi andalan warga Sulawesi Barat. Saya harap ini menjadi evaluasi bagi Pemerintah untuk meningkatkan penciptaan dokter spesialis,” kata Anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina, Selasa (23/7/2024).

Sebelum meninggal, dr. Helmi yang dikenal sebagai content creator kesehatan itu diketahui melakukan operasi sebanyak 10 kali dalam satu hari di dua rumah sakit. Hal tersebut harus dilakukan karena dokter yang terbilang masih muda itu merupakan satu-satunya dokter spesialis tulang di Sulbar.

Menurut data dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Sulawesi Barat sendiri masuk ke dalam top 5 terbawah provinsi yang kekurangan dokter spesialis. Selain Sulawesi Barat, ada juga Maluku Utara, Kalimantan Utara, dan Papua. Arzeti pun prihatin terhadap kondisi yang dinilainya cukup serius itu.

“Mendengar kabar bahwa almarhum harus melakukan operasi 10 kali dalam satu hari, itu cukup memilukan. Seperti ini-lah potret kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan kita, terutama di daerah,” tuturnya.

Indonesia diketahui menghadapi tantangan signifikan dalam kekurangan dokter
spesialis. Berdasarkan informasi, 266 dari 415 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di kabupaten/kota belum memiliki spesialisasi dasar yang mencukupi seperti spesialis anak, obgyn, bedah, penyakit dalam, anestesi, radiologi, dan patologi klinis.

Banyak rumah sakit di daerah tidak memiliki dokter spesialis yang lengkap, salah satunya karena sebagian besar dokter spesialis terkonsentrasi di kota-kota besar yang menyebabkan distribusi tidak merata dan kekurangan dokter spesialis di banyak daerah.

Arzeti mengatakan, kasus dr. Helmi menjadi salah satu contohnya.

“Ini semakin mengindikasikan bahwa Indonesia menghadapi tantangan yang signifikan dalam hal kekurangan dokter spesialis,” ungkap Arzeti.

Lebih lanjut, Arzeti mengatakan penyebaran dokter yang tidak merata juga menjadi permasalahan kesehatan Indonesia. Dari 59.422 dokter spesialis yang terintegrasi di Indonesia menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), hanya ada 11 dokter spesialis yang bertugas di Sulawesi Barat.

Jumlah tersebut pun sudah mencakup seluruh dokter dari 46 kelompok spesialisasi, mulai dari spesialis anak (Sp.A), spesialis bedah (Sp.B), sampai kelompok spesialis kedokteran gigi seperti ortodonti (Sp.Ort) dan odontologi forensik (Sp.OF).

“Dan ini terjadi juga di daerah-daerah lain. Kondisi tersebut sangat meresahkan karena dengan kurangnya dokter, pelayanan kesehatan kepada masyarakat pastinya juga tidak akan maksimal,” tukas Arzeti.

“Masalah kurangnya dokter spesialis sudah sering menjadi pembahasan kami di Komisi IX DPR dengan Menkes. Ini menjadi PR kita bersama agar bagaimana kekurangan dokter spesialis bisa segera teratasi,” lanjut Legislator dari Dapil Jawa Timur I itu.

Berdasarkan informasi, dr. Helmiyadi meninggal dunia usai terkena serangan jantung. Sosok dr. Helmiyadi sendiri dikenal sering mengedukasi masyarakat melalui konten media sosialnya tentang penyakit sendi atau tulang.

Konten-konten yang dibuat dr. Helmi mendapat respons positif dari masyarakat. Hal itu terlihat dari jumlah followers atau pengikut di Instagramnyanmencapai 523 ribu dan TikTok mencapai 1,2 juta pengikut.

“Sebuah kehilangan besar untuk dunia kesehatan Indonesia karena dr. Helmiyadi merupakan sosok insipratif yang selalu memberikan edukasi kesehatan kepada masyarakat. Banyak yang merasa kehilangan, meski bukan pasien alharhum langsung,” sebut Arzeti.

Arzeti pun memuji upaya dokter-dokter yang kerap memberikan edukasi kepada masyarakat dengan memanfaatkan media sosial, atau melalui sarana lainnya.

“Saat ini banyak dokter yang terpanggil melakukan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di luar ruang-ruang kontrol atau rumah sakit,” ujarnya.

“Saya berharap semakin lebih banyak lagi dokter yang bersedia memberi edukasi kesehatan lewat media sosial yang mudah diakses masyarakat dan jangkauannya sangat luas,” sambung Arzeti.

Di sisi lain, Arzeti meminta Pemerintah segera menerbitkan rencana induk kesehatan nasional paling lambat pada Agustus 2024 seperti yang telah ditargetkan.

“Karena itu dapat menjadi pedoman Pemerintah serta pihak wasta untuk mendorong pembangunan sektor kesehatan, termasuk pendidikan dokter spesialis,” imbaunya.

Arzeti mengingatkan, selain meningkatkan penciptaan dokter spesialias, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan juga merupakan hal yang harus menjadi prioritas. Apalagi belakangan terjadi berbagai insiden yang mengindikasikan kurangnya peningkatan pelayanan kesehatan, terutama di daerah-daerah.

Adapun beberapa kasus yang membuat miris tentang buruknya kualitas pelayanan kesehatan di daerah seperti seorang ibu di Banyuwangi yang terpaksa melahirkan di mobil karena tidak ada tenaga medis saat ia datang ke Puskesmas.

Kemudian ada juga kasus sopir ambulans menurunkan jenazah bayi karena pihak keluarga tak bisa membayar uang tambahan yang diklaim untuk biaya kekurangan biaya BBM. Lalu ada pula pasien yang ditolak masuk IGD hingga meninggal dengan dalih rumah sakit penuh.

“Kejadian-kejadian tersebut harus menjadi evaluasi agar tidak lagi terulang di kemudian hari. Salah satunya dengan menciptakan sebanyak mungkin dokter spesialis,” kata Arzeti.

Anggota BKSAP DPR itu pun mendukung optimalisasi penciptaan dokter spesialis melalui program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit pendidikan (hospital based) dan berbasis universitas (university based). Arzeti menilai, berbagai upaya yang dilakukan untuk mencetak dokter spesialis dapat mengurangi ketimpangan distribusi dokter di Tanah Air.

“Karena banyak dokter yang terkonsentrasi di perkotaan sehingga masyarakat pedesaan dan wilayah terpencil tidak memiliki akses. Ketimpangan ini menjadi salah satu masalah utama dalam sistem layanan kesehatan di Indonesia. Harus kita atasi,” ucapnya.

Komisi IX DPR yang membidangi urusan kesehatan itu juga mendukung upaya Pemerintah untuk mengatasi kekurangan 29.000 dokter spesialis di Indonesia. Terutama karena mencetak dokter spesialis membutuhkan waktu yang tidak sebentar di mana Indonesia hanya mampu memproduksi 2.700 dokter per tahun.

“Kita harus temukan formula paling tepat agar bagaimana saudara-saudara kita di daerah mendapatkan pelayanan dokter spesialis demi majunya sistem pelayanan kesehatan Indonesia. Tentunya formula tersebut harus berkeadilan untuk semua pihak,” tutup Arzeti.

tag: #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 79 - SOKSI
advertisement
HUT RI 79 - ADIES KADIR
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement