JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)- Hatta Rajasa ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) periode 2010-2015 pernah berpasangan dengan Presiden Prabowo Subianto dalam pilpres 2014-2019.
Sejak kepemimpinan Hatta Rajasa hingga penerusnya saat ini Zulkifli Hasan, PAN selalu konsisten mendukung Prabowo Subianto dalam berbagai gelaran pilpres hingga akhirnya menang pada kontestasi pilpres 2024-2029 ini.
Hanya saja, saat Prabowo berhasil merengkuh jabatan RI I saat ini, loyalis-loyalis Hatta Rajasa tak ada satupun yang bergabung dalam kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran.
Menanggapi hal itu, pengamat politik Uchok Sky Khadafi menduga, tidak adanya loyalis-loyalis Hatta Rajasa dalam kabinet Merah Putih bisa jadi atau patut diduga adanya penjegalan di internal PAN itu sendiri.
"Kalau pak Prabowo sendiri saya kira model pemimpin yang akomodatif dan paham akan balas budi terhadap kawan politiknya. Hanya saja mungkin nama-nama yang disodorkan PAN ke Presiden Prabowo itu tidak melalui mekanisme kompromi politik internal yang solid. Bisa jadi gerbong Zulhas menganggap jatah menteri atau posisi lainnya untuk PAN tidak perlu dikompromikan dengan faksi-faksi lainnya termasuk gerbong Hatta," ujar Aktivis 98 itu kepada wartawan, Kamis (14/11/2024).
Jika dugaan ini benar (tidak adanya kompromi politik di internal PAN terkait menyodorkan kadernya untuk isi pos-pos yang diminta Presiden Prabowo) Uchok mengingatkan, hal itu bisa jadi bumerang dikemudian hari.
"Buyarnya kompromi politik bisa berefek fatal terutama terhadap kesolidan internal partai dalam jangka panjang. Buyarnya kompromi politik kerap kali menyebabkan friksi tak berkesudahan dan tentu saja itu akan merugikan partai itu sendiri. Rekonsiliasi sebagai pilihan moderat harusnya jadi titik kompromi yang perlu di kedepankan oleh mereka," tandasnya.
Uchok juga menyarankan agar presiden Prabowo mencermati dinamika yang terjadi diinternal partai-partai yang ada dalam barisan pendukungnya.
"Partai harus dilihat sebagai sebuah entitas yang utuh. Artinya, partai tak bisa hanya dilihat secara linier (yang jadi pemimpin partai saat ini dianggap bisa membantu jalannya pemerintahan) itu belum bisa dianggap sebagai sebuah jaminan politik yang memadai. Selalu terbuka potensi atau peluang terjadinya polarisasi di tubuh setiap parpol. Ini yang mestinya dicermati secara komprehensif oleh presiden Prabowo sebagai pemimpin koalisi," paparnya.
Sebab, lanjut dia, agenda-agenda besar pemerintahan Prabowo-Gibran mesti ditopang kekuatan politik yang solid.
"Jika tidak solid internal partai-partai koalisinya, dikhawatirkan bisa ganggu agenda atau program-program strategis pemerintahan Prabowo-Gibran nantinya. Potensi sekecil apapun harus dihitung dan diantisipasi secara cermat oleh Presiden Prabowo sejak dini," tuntasnya.