JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Literasi Pemuda Indonesia (LPI) menemukan serangan-serangan seksisme yang dilontarkan oleh para calon kepala daerah selama kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Dimyati, misalnya. Calon Wakil Gubernur Banten ini sempat viral di media sosial atas pernyataan seksisnya yang menyebutkan, bahwa sebaiknya perempuan jangan diberi beban yang berat seperti menjabat sebagai Gubernur.
Kendati demikiian, Dimyati yang berpasangan dengan Calon Gubernur (cagub) Andra Soni, unggul dalam perolehan suara dari lawannya yaitu Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi.
Berdasarkan hasil quick count Charta Politika, Andra-Dimyati memperoleh 58,39 persen suara.
Selain Dimyati, pernyataan seksime juga terjadi di Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Calon Wakil Gubernur DKJ Suswono menyarankan agar para janda kaya menikahi pria pengangguran.
Pernyataan bernada seksime bukan hanya terjadi di dua provinsi tersebut, melainkan wilayah lainnya seperti Maluku dan Sleman, baik secara lisan maupun tulisan.
Maraknya pernyataan seksisme politik selama kampanye ini membuat LPI bergerak supaya menjadi bagian literasi, bahwa praktik seksisme bertentangan dengan PKPU Nomor 13 Tahun 2024, yang mempersoalkan penggunaan bahasa sopan dalam kampanye.
Bertajuk "Marak Seksisme dan Olok-olok Janda di Kampanye Pilkada, Kok Masih Dipilih?", diskusi publik ini digelar secara daring, Kamis, 5 Desember 2024.
Didukung oleh USAID dan Internews, diskusi melibatkan stakeholders terkait yang kompeten dalam bidangnya.
Poppy R. Dihardjo, misalnya. Pegiat isu perempuan ini turut menyoroti pernyataan Ridwan Kamil yang menyampaikan nada-nada seksime saat kampanye Pilkada.
Menurut dia, ucapan Ridwan Kamil saat kampenya dinilai sebagai bahan lelucon murahan, dan paling parahnya lagi adalah dianggap sebagai barang yang bisa dibagi-bagi kepada laki-laki.
"Tidak semua laki-laki mampu menjadi pemimpin, laki-laki yang berniat memimpin Jakarta saja, ternyata tidak punya bekal yang cukup," kata Founder Perempuan Tanpa Stigma Indonesia tersebut.
Sementara politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah, turut menyampaikan pengalamannya ketika praktik seksime kerap menjadi normalisasi di partainya.
Kandidat Gubernur Jawa Timur ini menyatakan, bahwa perempuan mesti bergerak dan berani speak up agar guyonan-guyonan seksisme tidak menjadi suatu yang lumrah.
"Karena berani speak up, jadi semacam kode etik untuk menghadapi sikap dan tindakan seksisme ke depannya," ungkapnya.
"Salah satu kewajiban pemerintah adalah memberdayakan dan memfasilitaskan perempuan dalam kondisi negara yang penuh kerentanan," lanjut Luluk.
Kemudian akademisi Dwi Kartikawati menjelaskan alasan setidaknya mengapa praktik seksisme kerap dinormalisasi di era saat ini.
Menurut Dwi, budaya patriarki yang kuat serta hasil konstruksi secara sosial dari budaya, membuat praktik seksisme kerap dianggap lumrah di lingkungan, terutama dalam hal ini ranah kampanye politik.
"Rendahnya literasi etika dalam komunikasi politik, sehingga dapat menarik lawan atau untuk menjatuhkan lawannya," kata Dwi.
Bukan hanya itu, lanjut Dwi, diperlukannya regulasi yang kuat dan tegas guna mengatasi olok-olok terhadap perempuan dalam ranah politik.
"Padahal serangan (seksisme) personal yang gak ada kaitan dengan kapasitas politiknya," ujar dia.
Untuk itu, dirinya menyarankan kepada para peserta yang merupakan mahasiswa dari kalangan Generasi Z, untuk dapat menyaring konten-konten di media sosial.
"Jangan sampai menormalisasi dari diskriminasi gender, berperan aktif dalam menciptakan perubahan sebagai generasi muda, dan pintar dalam mengkonsumsi konten di media sosial," katanya.
Lalu dari pihak pemerintah ada Koordinator Divisi Humas Datin Bawaslu Daerah Khusus Jakarta, Quin Pegagan.
Dirinya menyatakan, bahwa praktik seksisme selama kampenya Pilkada 2024 perlu ada tindakan seperti menyerang balik.
"Narasi seksisme tidak sesuai harkat martabat di masyarakat dan menjadi pelajaran hal tersebut tidak dulangi lagi," kata Quin.
Narasai praktik seksisme dan olok-olok terhadap perempuan di Pilkada 2024 ini bisa dikategorikan sebagai kekerasan.
Dilakukan dengan tujuan meraih suara lebih banyak, praktik ini jelas telah merugikan perempuan secara personal, sosial, dan politik.
Maka selain dapat mengikis partisipasti politik perempuan, praktik tersebut juga dapat menurunkan kualitas demokrasi suatu negara.