Oleh Radhar Tribaskoro pada hari Rabu, 05 Feb 2025 - 11:31:05 WIB
Bagikan Berita ini :

JEJARING ECERAN RAKYAT, NO!

tscom_news_photo_1738729865.jpeg
(Sumber foto : )

Gas elpiji 3 kg telah lama menjadi komoditas vital bagi masyarakat Indonesia, khususnya kalanganmenengah ke bawah. Sebagai sumber energi terjangkau, gas ini digunakan untuk memasak di rumah tangga, usaha kecil, dan sektor informal. Namun, belakangan, gas 3 kg menghilang dari pasaran, memicu kelangkaan dan kenaikan harga. Menanggapi hal ini, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa kelangkaan terjadi sebagai ekses dari kebijakan distribusi baru yang menetapkan pembatasan penjualan hanya di tingkat pangkalan, menghapus peran pengecer eceran. Tujuannya mulia: mencegah harga melampaui standar yang telah ditetapkan. Seperti diketahui negara telah menetapkan harga resmi Rp15.000/tabung, namun di tingkat eceran harga telah naik menjadi hingga Rp20.000 per tabung—jauh melampaui patokan.

Namun, kebijakan ini menuai kritik karena berpotensi merugikan akses masyarakat dan mematikan jaringan eceran yang selama ini menjadi tulang punggung distribusi. Pertanyaannya: dapatkah kebijakan ini dibenarkan, atau justru menciptakan masalah baru yang lebih kompleks?

Nilai Tambah Pengecer

Kenaikan harga gas 3 kg di tingkat konsumen sering dikaitkan dengan biaya distribusi. Pengecer, meski dianggap sebagai “middleman”, sebenarnya memberikan nilai tambah dengan mendekatkan produk ke konsumen. Di daerah perkotaan padat atau pedesaan terpencil, kehadiran pengecer memungkinkan masyarakat membeli gas tanpa harus menempuh jarak jauh ke pangkalan. Biaya transportasi, waktu, dan tenaga yang dihemat menjadi pertimbangan rasional mengapa konsumen rela membayar lebih.

Kebijakan menghapus pengecer justru kontraproduktif. Dengan memusatkan distribusi di pangkalan, pemerintah mengabaikan fakta bahwa tidak semua masyarakat memiliki akses mudah ke lokasi tersebut. Bagi pekerja harian atau ibu rumah tangga, bepergian ke pangkalan bisa berarti kehilangan pendapatan atau mengorbankan waktu pengasuhan anak. Jika dihitung secara ekonomi, biaya tidak langsung ini mungkin melebihi selisih Rp5.000 yang ingin dihemat melalui kebijakan tersebut.

Selain itu, skenario terburuk muncul ketika kelangkaan terjadi di tingkat pangkalan. Ketika pasokan terbatas, konsumen terpaksa antre panjang atau membeli dari pasar gelap dengan harga lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa akar masalah bukan pada keberadaan pengecer, melainkan pada ketidakmampuan sistem distribusi memastikan kecukupan pasokan. Tanpa pengecer yang berfungsi sebagai “penyangga”, tekanan pada pangkalan meningkat, berpotensi memperparah kelangkaan.

Ancaman Monopoli Korporasi

Aspek kedua yang patut dikritisi adalah dampak kebijakan terhadap jaringan eceran yang selama ini dijalankan oleh rakyat kecil. Jaringan ini—mulai dari pedagang warung hingga agen keliling—tidak hanya menyediakan gas, tetapi juga menjadi sumber penghidupan bagi ribuan keluarga. Mereka bekerja dalam sistem informal yang fleksibel, mampu menjangkau daerah yang tidak terlayani korporasi besar.

Menghapus peran mereka sama saja dengan memutus mata rantai ekonomi yang telah terbangun secara organik. Dampaknya tidak hanya pada hilangnya lapangan kerja, tetapi juga pada melemahnya ketahanan ekonomi masyarakat kecil. Yang lebih mengkhawatirkan adalah potensi masuknya korporasi besar ke dalam vakum yang ditinggalkan pengecer. Perusahaan dengan modal kuat mungkin mampu memonopoli distribusi, tetapi belum tentu memiliki kepekaan terhadap kebutuhan lokal.

Kemungkinan ini tidak kecil. Masyarakat telah menyaksikan bagaimana warung dan pengecer bahan pokok di pelosok-pelosok telah digantikan oleh Indomart dan Alfamart. Entah berapa juta keluarga pengusaha kecil dan mikro harus kehilangan mata pencahariannya karena itu. Sementara birokrat-birokrat di kursi empuk yang digaji rakyat mengangguk-angguk. “Tidak ada yang bisa dilakukan, itulah resiko bisnis,” sabda mereka.

Ya, sejarah menunjukkan bahwa monopoli sering berujung pada praktik eksploitatif. Tanpa kompetisi, korporasi bisa menaikkan harga semena-mena, mengurangi kualitas layanan, atau mengabaikan daerah berpendapatan rendah. Jika ini terjadi, masyarakat tidak hanya kehilangan akses ke gas terjangkau, tetapi juga terjebak dalam ketergantungan pada entitas yang tidak berpihak pada mereka. Kebijakan yang awalnya ditujukan untuk melindungi rakyat justru menjadi bumerang.

Niat Baik?

Pemerintah berargumen bahwa kebijakan ini diperlukan untuk menekan inflasi dan memastikan subsidi tepat sasaran. Namun, langkah tersebut mengabaikan kompleksitas rantai pasok. Harga Rp15.000 hanya bisa tercapai jika pasokan mencukupi dan distribusi lancar. Faktanya, banyak pangkalan kekurangan stok, sehingga harga tetap tinggi di tingkat konsumen. Ini membuktikan bahwa masalah utamanya adalah manajemen logistik, bukan keberadaan pengecer.

Penghapusan pengecer juga bertentangan dengan prinsip ekonomi pasar. Pemerintah seharusnya berfokus pada memperbaiki sistem distribusi, bukan menghilangkan aktor yang justru meningkatkan efisiensi. Misalnya, dengan memperbanyak pangkalan atau memberikan insentif kepada pengecer untuk mematuhi harga patokan. Pendekatan represif tanpa solusi komprehensif hanya akan memperburuk keadaan.

Di sisi lain, kebijakan ini bisa dibenarkan jika disertai langkah pendampingan. Misalnya, mengintegrasikan pengecer ke dalam sistem resmi melalui pelatihan dan regulasi ketat. Namun, tanpa transparansi dan partisipasi masyarakat, kebijakan tetap rentan disalahgunakan oleh korporasi yang dekat dengan kekuasaan.

Penutup

Kebijakan distribusi gas 3 kg yang sentralistik sulit dibenarkan karena mengorbankan aksesibilitas dan keberlanjutan ekonomi rakyat. Meski tujuannya mulia, cara yang dipilih justru berisiko menciptakan ketergantungan baru pada korporasi dan memperlebar ketimpangan.

Solusi yang lebih adil adalah dengan memperkuat sistem distribusi existing. Pemerintah bisa:

Meningkatkan pengawasan harga di tingkat pengecer melalui kerja sama dengan asosiasi pedagang.

Memperbanyak titik distribusi resmi untuk mengurangi beban pangkalan.

Memberikan subsidi atau insentif kepada pengecer yang bersedia menjual sesuai harga patokan.

Melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan untuk memastikan keputusan tidak elitis.

Dengan pendekatan inklusif, harga gas 3 kg bisa dikendalikan tanpa mengorbankan jaringan eceran yang menjadi denyut nadi ekonomi kerakyatan. Jika tidak, kebijakan ini hanya akan menjadi contoh lain bagaimana niat baik pemerintah gagal diterjemahkan dalam praktik, meninggalkan rakyat kecil sebagai korban utama.===


Jakarta, Selasa,4Februari2025

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Dinamika Politik dan Kebijakan: DPR Perkuat Wewenang, Menteri ESDM Akui Kesalahan

Oleh Ariady Achmad bersama Team teropongsenayan.com
pada hari Rabu, 05 Feb 2025
Pendahuluan Dua isu politik dan kebijakan yang mencuat dalam beberapa hari terakhir menimbulkan perdebatan di publik. Pertama, revisi aturan DPR yang memberikan kewenangan lebih besar dalam ...
Opini

Diplomasi Barongko: Indonesia Sudah Perlu "Direstart"?

Pendapat mengenai kondisi Indonesia saat ini yang dikemukakan oleh Muhammad Said Didu mencerminkan kegelisahan mendalam terhadap arah perjalanan bangsa. Kritik tajam terhadap pemerintahan Jokowi ...