Oleh Muhammad Said Didu pada hari Rabu, 05 Feb 2025 - 11:32:22 WIB
Bagikan Berita ini :

Diplomasi Barongko: Indonesia Sudah Perlu "Direstart"?

tscom_news_photo_1738729942.jpg
(Sumber foto : )


Pendapat mengenai kondisi Indonesia saat ini yang dikemukakan oleh Muhammad Said Didu mencerminkan kegelisahan mendalam terhadap arah perjalanan bangsa. Kritik tajam terhadap pemerintahan Jokowi selama satu dekade terakhir tidak berdiri sendiri, melainkan berakar pada realitas bahwa kekuasaan semakin tersentralisasi di tangan oligarki yang bermental mafia—sekelompok elite yang tidak hanya mengendalikan ekonomi, tetapi juga politik, hukum, dan kebijakan publik demi kepentingan mereka sendiri.

Indonesia tampaknya telah berubah dari negara demokratis menjadi arena permainan kelompok oligarkis yang membajak demokrasi demi memperkokoh cengkeraman mereka. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah Indonesia benar-benar membutuhkan "restart" total?

Analisis Kondisi Indonesia

1. Ideologi: Pancasila Sebagai Alat Legitimasi

Pancasila seharusnya menjadi pedoman dalam kehidupan bernegara, tetapi kini lebih sering digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Nilai-nilainya dikosongkan dari makna sejati, hanya dijadikan retorika untuk membungkam kritik. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang seharusnya menjaga marwah Pancasila justru berfungsi lebih sebagai alat propaganda ketimbang penjaga substansi.

Para oligarkis memanfaatkan jargon "Pancasila" untuk menjustifikasi kebijakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan sosial, seperti penguasaan sumber daya alam oleh segelintir elite dan represi terhadap suara kritis.

2. Politik: Dari Demokrasi ke Kleptokrasi

Praktik politik transaksional semakin mengukuhkan oligarki sebagai pengendali utama negara. Kekuasaan bukan lagi ditentukan oleh pilihan rakyat secara jujur, melainkan oleh kesepakatan di balik layar yang melibatkan uang, posisi, dan kepentingan bisnis.

Pemilu, yang seharusnya menjadi manifestasi kedaulatan rakyat, telah dikondisikan sedemikian rupa sehingga hanya melahirkan pemimpin yang bisa dikendalikan oleh oligarki. Peran partai politik sebagai pilar demokrasi telah terdistorsi menjadi alat barter kepentingan elite.

Lebih parahnya, hukum dan institusi negara pun dikooptasi untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu, bukan untuk menegakkan keadilan.

3. Ekonomi: Kapitalisme Kroni yang Memiskinkan Rakyat

Dominasi oligarki dalam ekonomi semakin nyata. Pengelolaan sumber daya alam tidak lagi berpihak pada rakyat, melainkan diarahkan untuk memperkaya segelintir elite yang memiliki akses langsung ke kekuasaan.

Proyek infrastruktur yang diklaim sebagai tonggak pembangunan ternyata lebih banyak menguntungkan kontraktor besar dan investor, bukan rakyat kecil. Beban utang yang terus membengkak justru menjadi ancaman jangka panjang bagi stabilitas ekonomi nasional, sementara akses ekonomi bagi rakyat semakin menyempit.

Di tengah kondisi ini, oligarki mafia beroperasi melalui kebijakan yang menguntungkan bisnis mereka, mulai dari monopoli impor pangan hingga penguasaan energi dan tambang dengan harga murah melalui regulasi yang mereka kendalikan.

4. Sosial-Budaya: Polarisasi Sebagai Alat Kendali

Kondisi sosial semakin rentan akibat meningkatnya polarisasi politik dan segregasi sosial yang direkayasa. Elite bermental mafia memahami bahwa masyarakat yang terpecah akan lebih mudah dikendalikan.

Narasi perpecahan diciptakan dan dipelihara, bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk memastikan bahwa kekuatan oposisi tidak pernah cukup kuat untuk menantang status quo. Kampanye hitam, kriminalisasi tokoh kritis, dan politisasi hukum menjadi alat utama dalam melanggengkan kekuasaan.

Selain itu, nilai-nilai etika dan moral publik semakin terkikis akibat budaya permisif terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dipraktikkan secara terang-terangan oleh para elite.

5. Pertahanan dan Keamanan: Alat Represi Oligarki

Aparat keamanan yang seharusnya netral kini lebih sering digunakan sebagai instrumen kekuasaan oligarki. Represi terhadap gerakan sosial, aktivis, dan kelompok oposisi semakin meningkat, sementara aparat hukum menunjukkan keberpihakan yang jelas terhadap kepentingan elite.

Alih-alih menjaga stabilitas nasional demi kepentingan rakyat, aparat lebih sering digunakan untuk mengamankan bisnis dan kepentingan politik kelompok tertentu. Militerisasi kebijakan sipil pun mulai terlihat, dengan dalih keamanan nasional yang justru mengarah pada kontrol sosial yang lebih ketat.

Apakah Indonesia Butuh "Restart"?

Melihat kenyataan ini, gagasan "restart" negara bukan sekadar wacana, tetapi menjadi pertanyaan yang semakin relevan. Namun, pertanyaannya bukan hanya apakah kita perlu restart, melainkan bagaimana cara melakukannya tanpa terjerumus dalam chaos yang lebih besar?

Sejarah membuktikan bahwa perubahan radikal sering kali membawa konsekuensi yang tidak terduga. Namun, membiarkan sistem berjalan seperti ini tanpa koreksi mendasar hanya akan memperkuat dominasi oligarki dan memperparah penderitaan rakyat.

Untuk mengembalikan Indonesia ke jalur yang benar, diperlukan langkah-langkah nyata seperti:

Pembongkaran struktur oligarki yang mengendalikan negara dengan reformasi sistem politik dan ekonomi secara menyeluruh.

Penegakan hukum yang benar-benar independen, bukan sebagai alat kekuasaan.

Pemberdayaan masyarakat sipil agar memiliki peran lebih dalam menentukan arah kebijakan negara.

Meritokrasi dalam birokrasi dan pemerintahan, bukan sekadar pembagian kekuasaan berdasarkan kepentingan politik.


Indonesia tidak akan berubah hanya dengan retorika atau sekadar mengandalkan sistem yang sudah rusak. Perubahan harus didorong oleh kesadaran kolektif rakyat untuk melawan hegemoni oligarki dan membangun kembali negara yang benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat.

Jangan pernah lelah mencintai Indonesia, tetapi cintailah dengan keberanian untuk melawan ketidakadilan danketidakbenaran.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
BANK DKI JACKONE
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DREAL PROPERTY
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Dinamika Politik dan Kebijakan: DPR Perkuat Wewenang, Menteri ESDM Akui Kesalahan

Oleh Ariady Achmad bersama Team teropongsenayan.com
pada hari Rabu, 05 Feb 2025
Pendahuluan Dua isu politik dan kebijakan yang mencuat dalam beberapa hari terakhir menimbulkan perdebatan di publik. Pertama, revisi aturan DPR yang memberikan kewenangan lebih besar dalam ...
Opini

Sanksi atas Kebijakan Menteri Bahlil Lahadalia

Kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang melarang penjualan Elpiji 3 Kg oleh pengecer menuai polemik dan kecaman. Kebijakan tersebut dianggap merugikan masyarakat ...