JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Tokoh adat Sarmi, Yakonias Wabrar, mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara sepihak mempercepat jadwal pembacaan putusan dismissal sengketa Pilkada Sarmi. Semula, MK menjadwalkan putusan pada 11 , 12 dan 13 Februari 2025, tetapi mendadak dimajukan menjadi 5,6 dan 7 Februari 2025.
Selain itu, Yakonias juga menyoroti terlalu sedikitnya waktu yang disediakan dalam pengajuan bukti-bukti di Perselisihan Hasil Pilkada di MK.
"Putusan MK yang tidak menerima permohonan dari dua pasangan calon Pilkada Sarmi sangat jauh dari rasa keadilan masyarakat," kata Yakonias di Jakarta, Senin (10/2/2025).
Ia menegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar soal kalah atau menang dalam kontestasi politik, tetapi lebih kepada pentingnya ruang untuk mengungkap kebenaran demi perbaikan demokrasi di Sarmi.
Tim sukses Yanni-Jemmi Maban ini menuturkan bahwa pihaknya baru mendapatkan bukti-bukti kuat terkait dugaan kecurangan pemilu beberapa saat sebelum MK membacakan putusan dismissal.
"Jika bukti-bukti ini bisa dihadirkan ke persidangan MK lebih awal, kami yakin pasangan calon nomor 01, Dominggus-Jumiarti akan didiskualifikasi," tegas Yakonias.
Bukti-bukti yang diperoleh mencakup dugaan pemalsuan dokumen, data kesehatan yang dipertanyakan, serta bukti tak terbantahkan berupa tujuh putusan Pengadilan Negeri Jayapura yang telah memvonis bersalah para terdakwa dalam kasus pidana pemilu di Kabupaten Sarmi.
"Dari 314 kasus sengketa Pilkada yang masuk ke MK, hanya Kabupaten Sarmi yang berhasil membawa kasus Gakkumdu ke pengadilan, dan seluruh terdakwanya divonis bersalah dan dipidana penjara," katanya.
Fakta ini, menurutnya, seharusnya menjadi pertimbangan kuat bagi MK dalam memproses perkara.
Ketujuh perkara tersebut teregistrasi dengan nomor 19/Pid.Sus/2025/PN Jap hingga 25/Pid.Sus/2025/PN Jap.
"Sayangnya, waktu majelis hakim MK menanyakan perkembangan kasus pidana pemilu di pengadilan negeri Jayapura, saat itu persidangan di PN Jayapura masih berproses dan belum keluar putusan," katanya.
Ironisnya, putusan Pengadilan Negeri Jayapura akhirnya dijatuhkan tepat pada hari yang sama dengan pembacaan putusan dismissal MK, yaitu 4 Februari 2025. Yakonias berpendapat bahwa jika persidangan MK dilakukan setelah putusan PN keluar, hasilnya bisa saja berbeda.
Selain bukti pidana pemilu yang sudah diputus pengadilan, Yakonias juga menyoroti berbagai dugaan pelanggaran lainnya, termasuk keterlibatan seorang kepala dinas dalam pelanggaran netralitas ASN yang laporannya telah diteruskan ke Badan Kepegawaian Negara (BKN) oleh Bawaslu.
Selain itu, lanjut dia, ada dugaan gratifikasi terhadap Ketua Bawaslu, Obet Cawer, yang diduga menggunakan dana gratifikasi untuk membeli mobil dan membangun rumah. Yakonias menilai bahwa akumulasi dari berbagai bentuk kecurangan ini seharusnya cukup kuat untuk membuktikan adanya pelanggaran TSM di Pilkada Sarmi, yang bisa berujung pada diskualifikasi pasangan calon pemenang.
Perbaikan Sistemik di MK
Sementara itu, analis politik dan pemilu dari Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo, menilai bahwa kualitas demokrasi dan keadilan di Indonesia dapat meningkat jika diberikan waktu yang cukup bagi para pihak untuk mempersiapkan bukti dan argumen dalam sengketa pemilu.
"Sistem dismissal yang terlalu terburu-buru bisa mengorbankan keadilan substantif, terutama jika ada bukti baru yang ditemukan setelah putusan awal dijatuhkan," kata Karyono.
Karyono mengacu pada teori Electoral Justice System yang menekankan bahwa sistem peradilan pemilu harus menjamin semua tahapan berlangsung dengan prinsip keadilan, integritas, dan transparansi. Dalam konteks ini, penyelesaian sengketa pemilu yang adil membutuhkan waktu yang cukup untuk pengumpulan dan pemeriksaan bukti.
Terbatasnya waktu pembuktian ini menjadi salah satu faktor penghambat untuk menghasilkan keputusan yang adil. Selain itu, secara implisit, MK juga menjadikan pertimbangan selisih suara yang dinilai jauh menjadi dasar pertimbangan untuk membuat putusan. Jika hal itu tidak diubah maka tipis harapan untuk menegakkan keadilan substantif.
Dua faktor tersebut banyak dikeluhkan para pencari keadilan pemilu (electoral justice). Jika masalah tersebut tidak diperbaiki maka stigma MK sebagai Mahkamah Kalkulator semakin melekat di benak publik.
"Mungkin sebentar lagi Publik akan menjuluki MK mirip sopir angkot yang sedang mengejar waktu untuk mendapatkan setoran," tegas Karyono.
Dalam kasus Pilkada Sarmi, di mana ada tujuh putusan pengadilan terkait pidana pemilu, Karyono menilai sangat tidak adil jika pemohon tidak diberi kesempatan untuk membawa fakta hukum tersebut ke MK, setidaknya sampai tahap pembuktian.
"Mestinya hasil putusan Pengadilan Negeri bisa linier dengan Putusan MK," katanya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, ia mengusulkan beberapa perbaikan sistemik dalam penyelesaian sengketa pemilu di MK.
Pertama, diperlukan evaluasi terhadap tenggat waktu dan mekanisme dismissal. Tenggat waktu pengajuan permohonan perlu diperpanjang agar kandidat memiliki cukup waktu untuk mengumpulkan bukti. Selain itu, sistem dismissal harus lebih fleksibel, terutama jika ditemukan bukti baru yang substansial setelah putusan awal.
Kedua, MK perlu membuka ruang hukum lanjutan bagi pencari keadilan yang memperoleh bukti baru setelah dismissal. Salah satu solusinya adalah menerapkan sistem Electoral Review seperti yang digunakan di beberapa negara seperti Jerman, India, dan Kenya.
"Dalam sistem ini, putusan sengketa dapat ditinjau ulang jika ada bukti baru yang signifikan dan dapat mengubah hasil pemilu," kata Karyono.
Ketiga, perlu adanya mekanisme hukum lanjutan di MK, misalnya melalui pengajuan bukti tambahan dalam tenggat waktu khusus. MK dapat memberikan masa tenggang (grace period) bagi pemohon yang menemukan bukti baru setelah putusan dismissal.
Selain itu, perlu dipertimbangkan mekanisme banding atau peninjauan kembali (PK) di MK. Diakui Karyono, saat ini, putusan MK bersifat final dan mengikat, tetapi dalam kasus tertentu seperti pemalsuan dokumen atau bukti baru yang substansial, seharusnya ada ruang untuk peninjauan kembali seperti dalam sistem peradilan umum.
Karyono selanjutnya mengkritik sistem speedy trial atau peradilan cepat yang diterapkan di MK dalam sengketa Pilkada. Speedy trial dapat mengarah pada keputusan yang terburu-buru tanpa pemeriksaan yang cermat dan mendalam.
"Proses peradilan yang terburu-buru dapat mengorbankan keadilan substantif, di mana keputusan yang diambil bisa jadi tidak mencerminkan kebenaran yang terjadi di lapangan," demikian Karyono Wibowo.