Jakarta, 9 Maret 2025-Kasus dugaan korupsi Pertamax RON 92 oplosan senilai Rp 193,7 triliun bukan sekadar skandal biasa. Jika terbukti, skema ini tidak hanya merugikan keuangan negara dalam jumlah fantastis, tetapi juga mencederai kepentingan publik secara luas. Oleh karena itu, penanganan kasus ini harus dilakukan secara transparan, profesional, dan tanpa intervensi politik.
Kejaksaan Agung Harus Fokus pada Penegakan Hukum
Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah tidak seharusnya berperan sebagai "juru klarifikasi" atau "juru penyelamat" bagi siapapun yang diduga terlibat, termasuk Garibaldi (Boy) Thohir dan Erick Thohir. Kejaksaan memiliki mandat untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu, bukan menjadi perisai bagi pihak tertentu.
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto saat kampanye jelas: koruptor akan dikejar hingga ke Antartika. Komitmen ini seharusnya menjadi pedoman utama dalam menangani skandal ini. Namun, jika proses penyelidikan dan penyidikan justru terkesan diarahkan untuk melindungi aktor-aktor besar, maka publik berhak mempertanyakan integritas penegakan hukum.
Jangan Ulangi Skandal Timah Rp 300 Triliun
Dugaan rekayasa dalam kasus ini mengingatkan publik pada kasus korupsi timah senilai Rp 300 triliun. Dalam kasus tersebut, Kejaksaan hanya menjerat pelaku kelas menengah ke bawah, sementara aktor utama tampaknya dibiarkan melenggang.
Contohnya, Harvey Moeis hanya dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar dengan kewajiban membayar uang pengganti Rp 210 miliar—angka yang jauh dari nilai korupsi yang dituduhkan. Bahkan, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya hanya menjatuhkan vonis 6,5 tahun penjara. Hukuman yang tidak sebanding dengan besarnya kerugian negara.
Apakah pola ini akan kembali terjadi dalam kasus Pertamax oplosan? Jika ya, maka ini bukan sekadar persoalan hukum, tetapi juga ancaman terhadap keadilan sosial dan kredibilitas negara dalam memberantas korupsi.
Korupsi dalam Sektor Energi: Pidana Subversif?
Dugaan korupsi sebesar Rp 193,7 triliun dalam sektor energi seperti Pertamax oplosan bukan sekadar tindak pidana ekonomi biasa. Dampaknya bisa merusak stabilitas ekonomi dan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Dalam perspektif tertentu, korupsi skala besar yang mengancam kepentingan nasional dapat dikategorikan sebagai tindak pidana subversif.
Pidana subversif, dalam konteks hukum Indonesia, adalah tindakan yang mengancam eksistensi negara dan perekonomian nasional. Jika kasus ini terbukti, maka hukum harus ditegakkan dengan instrumen yang lebih kuat, tidak hanya dengan pendekatan hukum pidana umum, tetapi juga dengan menggunakan pasal-pasal yang lebih tegas untuk melindungi kepentingan bangsa.
Kesimpulan: Ujian bagi Pemerintahan Prabowo
Kasus ini adalah ujian besar bagi pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah janji kampanye untuk menindak tegas koruptor benar-benar akan diwujudkan, ataukah hanya menjadi retorika politik?
Publik akan terus mengawasi langkah-langkah Kejaksaan Agung dalam menangani skandal ini. Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka kepercayaan terhadap institusi negara akan semakin terkikis.
Kini saatnya Kejaksaan membuktikan bahwa hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu. Jika tidak, maka upaya pemberantasan korupsi hanya akan menjadiilusibelaka.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #