JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Wakil Ketua MPR RI dari Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) menegaskan bahwa menulis dan membaca adalah cara mempertajam pikiran, jalan mewujudkan impian, memajukan peradaban, dan menjawab kebodohan. Oleh karena itu, Ibas menegaskan bahwa penulis-penulis Indonesia, khususnya penulis muda, harus tetap eksis, mendunia tak berbatas.
Hal tersebut disampaikan Ibas dalam Audiensi penulis muda perempuan Indonesia dengan topik “Ibu Punya Mimpi, Perempuan Berkisah: Penulis Indonesia Mendunia Tak Berbatas” Rabu (12/3/25) di Gedung MPR RI.
“Membaca dan menulis adalah salah satu cara kita untuk mempertajam pikiran. Dengan membaca dan menulis kita dapat terus bekerja dan berkarya. Setiap buku yang kita baca adalah jendela kehidupan. Setiap kata yang kita tulis membentuk ide-ide dan gagasan,” ujarnya mengawali sambutan.
Tak hanya itu, menurut Ibas menulis dan membaca adalah jalan menciptakan perubahan dan mewujudkan impian. “Menulis dan membaca menambah pengetahuan dan menulis apa yang ada di dalam hati, di situlah kekuatan kita untuk menciptakan perubahan dan mewujudkan impian.”
“Membaca dan menulis juga menjawab tentang kebodohan. Menjadi terdepan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai cita-cita pendiri bangsa. Dan pada saatnya menjadi pejuang masa kini untuk mengurangi kemiskinan serta pengangguran,” lanjutnya.
Ibas kemudian memberikan apresiasi kepada seluruh penulis muda hebat yang telah hadir, telah berkarya, memberikan hasil nyata untuk kehidupan ini. Tidak hanya menuliskan dalam kata tapi juga menjadi perempuan yang memperjuangkan literasi menjadi lebih baik dalam kehidupan Indonesia.
Lebih lanjut, Edhie Baskoro Ketua FPD DPR RI ini menyampaikan bahwa sebagai sebuah bangsa, Indonesia memiliki kekayaan sastra yang luar biasa. “Dari waktu ke waktu, penulis Indonesia, baik pria maupun wanita, telah menunjukkan bahwa kata-kata dapat mengubah dunia.”
“Sebut saja R.A. Kartini ‘Habis Gelap, Terbitlah Terang’ hingga hari ini hampir semua sastrawan penulis di Indonesia pasti paham dan tahu, sosok yang menginspirasi kita terkait emansipasi perempuan, tapi lebih lanjut tentang bagaimana seorang memperjuangkan kehidupan, pendidikan yang ada di Indonesia,” ungkapnya.
“Kita juga tahu, ada Sarimin Ismail, di 1933, novelis perempuan pertama di Indonesia, yang menciptakan karya-karya menginspirasi hingga hari ini, dengan judul ‘Kalau Tak Untung’ ketika itu,” tambahnya.
Di era modern ini, menurut Ibas Indonesia juga memiliki banyak penulis hebat, seperti Ayu Utami dan Dee (Dewi) Lestari.
Sehingga Ibas menegaskan bahwa penulis sangatlah penting. “Bukan hanya sekedar ketrampilan untuk mencari uang semata tetapi juga bisa membentuk peradaban. Lewat menulis kita bisa menyampaikan gagasan. Lewat menulis kita bisa merekam sejarah. dan Lewat menulis kita bisa menawarkan solusi”.
Karya tulis yang dimaksud Ibas di sini adalah berupa apa saja, mulai dari buku romansa, cerpen jenaka, esai akademia, hingga opini kritis, dan lainnya.
“Penulis memiliki kapasitas dalam dalam membentuk jiwa generasi dan mengarahkan semangat zaman bangsa. Menulis juga membangun peradaban. Peradaban yang lebih maju dan karya tulis itu bisa live forever,” katanya.
Dalam penutupnya Ibas mengutip sebuah kalimat dari novelis Andrea Hirata dan Pramoedya Ananta Toer. “Andrea Hirata berkata: ‘bermimpilah dalam hidup, jangan hidup dalam mimpi’, saya pikir kalian adalah penulis, kalian tidak sedang bermimpi, tapi kalian hidup dalam membuat mimpi-mimpi itu.”
“Pramoedya Ananta Toer berkata: ‘orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
“Menulis adalah keberanian. Kalian di sini adalah orang yang berani, yang bisa memberikan warna warni dunia pendidikan literasi dan pengembangan pengetahuan lintas zaman. Penulis Indonesia harus tetap eksis, karena bagaimana akan mendunia tak berbatas, jika punah? Sehingga, ayo kita bergerak! Bersama kita wujudkan Indonesia maju, tedidik, menuju Indonesia yang lebih gemilang,” pungkasnya.
Erisca Febrian seorang novelis penulis buku Dear Nathan yang juga peserta menyampaikan apresiasi dan aspirasinya.
“Saya sangat senang, Pak Ibas menyebutkan Sarimin Ismail. Sosok yang jarang dibaca dan dibahas di era modern ini. Saya berharap sastrawan sebelum era kontemporer punya kesempatan ruang untuk dibahas dan diperkenalkan ke generasi muda. Saya juga berharap bahwa stigma cerita yang ditulis perempuan kurang berbau nasionalisme itu dihapus. Padahal mereka penulis perempuan juga punya peran membahas kemajuan dan pemikiran-pemikirannya,” katanya.
Pada acara ini hadir beberapa peserta yang merupakan penulis perempuan, di antaranya Meisya Sallwa, Grace Reinda, Fayanna Allisha, Nadzira Shafa Askar, Erisca Febriani, dan lain sebagainya.
Hadir pula Anggota FPD DPR RI Sabam Sinaga, Raja Faisal Manganju Sitorus, dan Faujia Helga Br. Tampubolon.