JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pegiat Konstitusi yang juga penggugat Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen, Zulkifli S Ekomei, mengkritik keras kebijakan penghapusan data kendaraan bermotor bagi pemilik yang tidak memperpanjang Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) selama dua tahun setelah masa berlaku habis.
Menurutnya, aturan dalam Pasal 74 Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut justru menunjukkan ketimpangan hukum yang semakin nyata di Indonesia.
"Faktanya, meski sudah dibantah oleh Dirgakkum Korlantas Polri bahwa kendaraan tidak serta-merta bisa disita, aturan dalam UU ini tetap jelas menyebutkan bahwa STNK yang mati selama dua tahun akan dihapus dari data registrasi kendaraan. Artinya, kendaraan yang tak terdaftar itu dianggap bodong dan tak bisa digunakan lagi di jalan. Ini jelas lebih menyasar rakyat kecil yang kesulitan membayar pajak," ujar Zulkifli kepada awak media, Selasa (19/3/2025).
Zulkifli menegaskan, aturan ini justru menunjukkan ketimpangan hukum yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Ia mempertanyakan mengapa regulasi yang menekan masyarakat kecil bisa berjalan efektif, sementara aturan yang ditujukan untuk menindak kejahatan besar justru tak kunjung disahkan.
"Lihat saja Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Sudah bertahun-tahun didorong masyarakat, tapi tak kunjung dibahas dan disahkan oleh DPR. Padahal, RUU ini bisa jadi instrumen penting untuk menyita harta hasil korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah. Ini menunjukkan betapa hukum kita lebih tegas menekan rakyat kecil daripada para koruptor," imbuhnya.
Ketimpangan Regulasi: Pajak Kendaraan Vs Perampasan Aset
Dalam Pasal 74 ayat (2) UU 22/2009 dijelaskan bahwa data kendaraan bisa dihapus jika pemilik tidak melakukan registrasi ulang sekurang-kurangnya dua tahun setelah masa berlaku STNK habis. Dengan kata lain, jika seseorang tidak mampu membayar pajak kendaraannya selama dua tahun berturut-turut, maka kendaraan tersebut dianggap tidak memiliki legalitas.
Di sisi lain, RUU Perampasan Aset yang diharapkan menjadi alat untuk menyita kekayaan hasil tindak pidana seperti korupsi, pencucian uang, hingga narkotika, justru belum mendapat kepastian hukum. Padahal, pemerintah dan penegak hukum telah berkali-kali menyuarakan pentingnya aturan ini dalam upaya pemberantasan kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
"Jadi kita bisa lihat sendiri, hukum mana yang lebih cepat dan tegas. Urusan pajak kendaraan rakyat kecil langsung diatur dengan sanksi tegas, bahkan sampai penghapusan data STNK. Tapi para pejabat yang jelas-jelas merampok uang rakyat malah diberi keleluasaan karena regulasi penindakan terhadap mereka justru dibiarkan mandek," lanjut Zulkifli.
Desakan Revisi dan Kejelasan Regulasi
Menurut Zulkifli, pemerintah seharusnya lebih bijak dalam menerapkan kebijakan perpajakan kendaraan bermotor, terutama bagi rakyat kecil. Ia menyarankan agar regulasi ini dikaji ulang dengan mempertimbangkan faktor sosial ekonomi masyarakat.
"Jangan sampai masyarakat yang kesulitan ekonomi semakin ditekan dengan aturan yang kaku. Jika memang ingin memperketat pajak kendaraan, harus ada skema yang adil, seperti pemberian keringanan atau penghapusan denda bagi kelompok masyarakat tertentu," ujarnya.
Lebih lanjut, ia juga mendesak agar DPR segera mengesahkan RUU Perampasan Aset guna menunjukkan bahwa hukum benar-benar ditegakkan secara adil, tidak hanya kepada rakyat kecil tetapi juga kepada pelaku kejahatan besar.
"Kalau pemerintah serius menegakkan hukum, maka jangan cuma soal pajak kendaraan yang dikejar. Para koruptor yang merugikan negara jauh lebih besar juga harus dihukum dengan mekanisme penyitaan aset yang jelas. Itu baru namanya keadilan," pungkasnya.