JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan tidak boleh ada toleransi bagi praktik kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, termasuk di kampus. Ia pun mendorong agar pelaku pelecehan seksual mendapat hukuman setimpal.
“Tidak boleh ada sedikitpun toleransi terhadap kekerasan seksual di dunia pendidikan. Pelaku kekerasan seksual harus dihukum seberat-beratnya,” kata Puan Maharani, Selasa (8/4/2025).
Seperti diketahui, kasus kekerasan seksual di ranah kampus masih menjadi momok dunia pendidikan di Tanah Air. Terbaru, seorang Guru Besar di Universitas Gajah Mada (UGM) dilaporkan melakukan pelecehan seksual terhadap belasan mahasiswi di kediaman pribadinya.
Adapun Guru Besar tersebut berasal dari Fakultas Farmasi berinisial EM di mana ia diduga melakukan pelecehan seksual dengan modus bimbingan skripsi atau tesis di luar kampus selama periode 2023-2024. Padahal, UGM telah mengatur aktivitas perkuliahan harus dilakukan di lingkungan kampus.
Puan mengatakan tindakan tersebut telah mencoreng nama baik perguruan tinggi.
“Tindakan ini tidak hanya mencoreng nama baik institusi pendidikan tinggi, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap integritas dunia akademik,” ujar perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.
Puan menegaskan, seharusnya institusi pendidikan menjadi ruang aman bagi para peserta didik, bukan menjadi tempat yang mengancam masa depan.
"Kampus seharusnya jadi ruang aman, bermartabat, dan menjadi benteng utama dalam membangun nilai-nilai etika serta peradaban, bukan malah menjadi tempat pelecehan berulang," tegas Puan.
Puan pun mendorong agar penegak hukum menangani kasus ini dengan tranparan, dan adil. Ia menegaskan pelaku kekerasan seksual harus dihukum berat tanpa adanya toleransi, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
"Sekali lagi, tidak boleh ada toleransi sedikitpun terhadap kekerasan seksual. Terlebih jika itu terjadi di institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi generasi muda kita,” jelas cucu Bung Karno tersebut.
“Dalam UU TPKS juga diatur adanya pemberat hukuman jika pelaku merupakan seorang tokoh pendidik. Saya harap hal ini juga menjadi pertimbangan dalam proses hukum kasus ini,” lanjut Puan.
Adapun saat ini EM telah dipecat sebagai dosen UGM. EM dibebastugaskan dari Tridharma Perguruan Tinggi sejak pertengahan 2024. Sanksi tersebut dijatuhkan berdasarkan temuan dan bukti-bukti dalam proses pemeriksaan Komite Pemeriksa bentukan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM.
Korban dalam kasus ini perempuan, namun pihak UGM tidak mengungkap berapa jumlahnya dan statusnya. Internal UGM hanya menyatakan sudah ada 13 orang yang dimintai keterangan oleh Satgas PPKS. EM kini juga terancam sanksi pidana berat.
Puan berharap proses hukum dapat berjalan secara profesional.
“Dan tidak boleh ada kekebalan hukum meski pelaku adalah guru besar atau tokoh terkemuka. Hukum harus berdiri tegak, tanpa pandang bulu. Siapa pun pelakunya, harus bertanggung jawab di hadapan hukum," sebut mantan Menko PMK tersebut.
Selain itu, Puan mendorong pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) untuk memperkuat Implementasi Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Ia menegaskan harus ada sistem yang efektif agar regulasi itu benar-benar dijalankan di lingkungan kampus.
"Satuan Tugas PPKS perlu diberi kewenangan lebih luas dan dukungan yang memadai agar tidak menjadi formalitas semata," ucap Puan.
Puan juga mendorong evaluasi total dan audit menyeluruh dalam hal mekanisme tata kelola etika serta pembimbing akademik di kampus.
“Kasus pelecehan seksual yang melibatkan dosen dengan mahasiswa biasanya terjadi karena relasi kuasa. Maka harus ada audit menyeluruh terhadap sistem pengawasan akademik,” terangnya.
Puan menambahkan, perlu juga adanya sistem pelaporan yang aman dan rahasia, serta menjamin perlindungan saksi dan korban secara konkret.
“Relasi kuasa yang timpang antara dosen dan mahasiswa menjadi celah bagi pelecehan untuk terus terjadi. Karena relasi kuasa ini menyebabkan korban ketakutan untuk melapor, sebab mereka khawatir akan berdampak terhadap nilai akademik di kampus. Budaya seperti ini yang harus diputus,” papar Puan.
Puan juga mendesak pembentukan pusat krisis dan pendampingan nasional terhadap korban pelecehan seksual. Ia menilai, Pemerintah harus menginisiasi pusat pendampingan korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi secara nasional, yang bersifat independen dari kampus dan dapat diakses 24 jam selama 7 hari.
“Kita juga harus menggalakkan kampanye nasional yang menentang adanya relasi kuasa di kampus. Tentunya ini memerlukan dukungan semua pihak, termasuk dari internal kampus itu sendiri,” ungkapnya.
Menurut Puan, publik perlu diberikan edukasi terus-menerus tentang bahaya relasi kuasa dalam sistem pendidikan. Tujuannya agar mahasiswa memiliki kesadaran dan keberanian untuk melapor jika menjadi korban.
Di sisi lain, Puan memastikan DPR RI terus mengawal penanganan kasus ini secara serius dan mendorong reformasi sistemik demi terwujudnya ruang pendidikan yang adil, aman, dan manusiawi bagi seluruh anak bangsa.
"Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat di mana intelektualitas dan nilai-nilai luhur berkembang, bukan ruang di mana kuasa disalahgunakan untuk menindas yang lemah," tutup Puan.