JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Perbuatan melawan hukum dalam skandal mega korupsi pungli Rp 5,04 triliun PT Pelabuhan Tiga Bersaudara (PT PTB) pada Terminal Ship to Ship Perairan Muara Berau dan Muara Jawa Kalimantan Timur makin terkuak. Ternyata, banyak peraturan yang ditabrak. Kasus ini menjadi simbol nyata dari praktik manipulatif dan pengabaian aturan hukum dalam pengelolaan pelabuhan nasional. PT PTB berdalih memiliki legalitas, bahkan sering mencatut Kepala Staf Kepresidenan (waktu itu), Moeldoko.
PT PTB diduga telah menipu negara dengan mengoperasikan kegiatan ship to ship di wilayah yang tidak memiliki dasar hukum penetapan wilayah pelabuhan. ”lzin yang dikeluarkan Kementerian Perhubungan diduga diberikan berdasarkan data yang tidak benar yang disampaikan PT PTB. Ini kejahatan yang serius terhadap negara,” ujar Rudi Prianto, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI) kepada wartawan di Jakarta, Senin, 14 April 2025.
Menurut Rudi, berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 48 Tahun 2021, khususnya Pasal 7, 17, dan 18, penetapan wilayah konsesi wajib dilakukan oleh Menteri Perhubungan dan harus selaras dengan tata ruang wilayah provinsi maupun kabupaten/kota. Penetapan wilayah konsesi Terminal Ship to Ship Perairan Muara Berau dan Muara Jawa Kalimantan Timur wajib berkoordinasi dengan Gubernur Kalimantan Timur.
Sedangkan sesuai Pasal 11 dan 27 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 59 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan, kegiatan usaha di pelabuhan wajib dilaporkan ke Gubernur dan Penyelenggara Pelabuhan setempat.
Namun dalam kasus ship to ship Perairan Muara Berau dan Muara Jawa tidak ditemukan jejak koordinasi atau rekomendasi dari Gubernur Kalimantan Timur. Akibatnya, lokasi kegiatan ship to ship tersebut tidak memiliki dasar penetapan tata ruang yang sah. Penentuan lokasi konsesi diumumkan dengan tidak transparan oleh Kementerian Perhubungan.
Secara yuridis apabila lokasi konsesi tidak ditetapkan secara sah, maka seluruh bentuk pungutan yang diberlakukan di wilayah tersebut statusnya menjadi ilegal, yang dapat dipandang sebagai bentuk tindak pidana korupsi pungli.
Pada sisi lain, secara prosedur dan substansi Surat Menteri Perhubungan RI Nomor: PR.202/1/18 PHB 2023 tanggal 24 Juli 2023, Hal: Rekomendasi Persetujuan Penetapan Tarif Awal Jasa Kepelabuhan Pada Terminal Ship to Ship Perairan Muara Berau dan Muara Jawa Kalimantan Timur, bertentangan dengan peraturan yang berlaku. ”Kementerian Perhubungan wajib mencabut konsesi Terminal Ship to Ship Perairan Muara Berau dan Muara Jawa Kalimantan Timur atas nama PT PTB,” ujar Rudi lagi.
Kejagung, KPK, PPATK, dan BPKP Diminta Turun Tangan
Sebagaimana telah diwartakan, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Direktorat Investigasi Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) harus mengusut dugaan korupsi pungutan liar yang telah merugikan negara dan memperkaya PT PTB sedikitnya sebesar USD 300 juta.
Pengusutan diperlukan, menyusul dibatalkannya Surat Menteri Perhubungan RI Nomor: PR.202/1/18 PHB 2023 tanggal 24 Juli 2023, Hal: Rekomendasi Persetujuan Penetapan Tarif Awal Jasa Kepelabuhan pada Terminal Ship to Ship Perairan Muara Berau dan Muara Jawa Kalimantan Timur, berdasarkan putusan peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta, Nomor: 377/B/2024/PT.TUN.JKT tertanggal 18 September 2024.
Berdasarkan ketentuan Surat Menteri Perhubungan RI Nomor: PR.202/1/18 PHB 2023 tanggal 24 Juli 2023, PT PTB telah mengenakan tarif bongkar muat dengan dalih penggunaan floating crane terhadap seluruh eksportir batubara, selaku pengguna jasa kepelabuhanan pada Terminal Ship to Ship Perairan Muara Berau dan Muara Jawa sebesar USD 1.97 per metrik ton.
”Dari tarif senilai USD 1.97, sebesar USD 0,8 tanpa dasar hukum masuk ke rekening PT PTB, dengan dalih untuk jasa floating crane. Padahal PT PTB tidak memiliki unit floating crane. Sejak ketentuan tersebut diberlakukan pada Juli 2023, terdapat sebanyak 250 juta metrik ton batubara telah diekspor melalui Terminal Ship to Ship Perairan Muara Berau. Total hasil pungutan liar yang dinikmati PT PTB mencapai USD 300 juta atau setara Rp 5,040 triliun, yang seharusnya masuk ke kas negara," katanya.
Sementara itu, masyarakat Kalimantan Timur dan publik nasional kini semakin geram. Setelah sebelumnya diduga mengumpulkan uang hasil pungutan liar sebesar USD 0,8 per metrik ton dari kegiatan Ship to Ship di Muara Berau dan Muara Jawa — dengan nilai total mencapai USD 300 juta atau Rp 5,04 triliun — kini PT PTB memakai dana hasil kejahatan tersebut untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI.
Bukti screenshot dari laman resmi SIPP PTUN Jakarta menunjukkan bahwa pada Selasa, 1 Oktober 2024, PT PTB selaku Pemohon Kasasi (Tergugat II Intervensi) secara resmi mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan PTUN Jakarta No. 377/B/2024/PT.TUN.JKT yang sebelumnya telah membatalkan tarif USD 1.97 per ton yang dijadikan dasar pungli.
Ketua Umum APRI Rudi Prianto menyatakan, langkah PT PTB ini merupakan bentuk perlawanan terhadap kedaulatan hukum dan akal sehat publik. ”Setelah memungut uang secara ilegal dan kalah di pengadilan, kini digunakan untuk membiayai langkah hukum kasasi yang diduga sebagai bentuk perlawanan terhadap negara dengan memanfaatkan dana yang tidak sah. Ini bukan sekadar pembangkangan hukum, melainkan penghinaan terhadap keadilan,” tegas Rudi.
Ia menambahkan, struktur korporasi PT PTB dan PT Indo Investama Kapital memperlihatkan pola pencucian uang terorganisir. Uang hasil pungli dikumpulkan melalui PT PTB, disembunyikan melalui PT Indo Investama Kapital, dan kini digunakan untuk membiayai manuver hukum demi mempertahankan status pungutan yang telah dinyatakan tidak sah oleh pengadilan.
Menyikapi korupsi pungli PT PTB sebesar Rp 5,04 triliun, APRI melaporkan pula ke Kejaksaan Agung RI, termasuk meminta investigasi atas dugaan penyalahgunaan dana untuk mempengaruhi proses hukum di tingkat kasasi.