Oleh Afnan Malay pada hari Rabu, 16 Apr 2025 - 14:15:40 WIB
Bagikan Berita ini :

Ijazah, Integritas, dan Ujian Kultural UGM

tscom_news_photo_1744787740.jpeg
Jokowi (Sumber foto : Detikcom/Tara Wahyu)

TEROPONGSENAYAN.COM - Bukan kebetulan jika masyarakat Indonesia menaruh harapan begitu besar pada Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam sejarahnya, UGM tidak sekadar institusi pendidikan tinggi. Ia adalah simbol harapan rakyat akan kecerdasan yang merakyat, pengetahuan yang membumi, dan akal sehat yang berpihak kepada kebenaran. Dalam bahasa Benedict Anderson, nasionalisme modern lahir tidak hanya dari negara, tetapi dari “komunitas-komunitas terbayang” yang dibentuk oleh sekolah dan media. UGM adalah salah satu komunitas itu—komunitas kebangsaan berbasis ilmu.

Ketika isu keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali mencuat dan publik meminta klarifikasi kepada UGM, sesungguhnya yang sedang diuji bukan sekadar dokumen akademik, tetapi karakter budaya intelektual dan tanggung jawab moral sebuah lembaga pendidikan publik.

UGM memang telah merespons. Pada 15 April lalu, Wakil Rektor Arie Sujito menyampaikan klarifikasi resmi, memperlihatkan skripsi, foto-foto wisuda, dan kesaksian teman-teman seangkatan Jokowi. Tetapi klarifikasi itu terasa lebih seperti pembelaan institusional, bukan audit akademik terbuka yang mencerminkan etos ilmiah kampus. Kesan defensif dan birokratis justru memperkuat kecurigaan publik bahwa ada hal-hal yang belum diungkap secara menyeluruh.

Padahal, publik tidak sedang mengadili UGM. Justru karena masih percaya pada integritas UGM, masyarakat datang dan bertanya. Karena lembaga peradilan kini diragukan independensinya, rakyat berpaling ke kampus sebagai penjaga nilai dan logika.

Masalah ijazah Jokowi bukan perkara hukum biasa. Ia adalah ekspresi kekecewaan kolektif terhadap figur yang dulu dielu-elukan sebagai simbol kesederhanaan, namun kini dianggap mengkhianati prinsip-prinsip demokrasi. Pengabaian terhadap putusan etik Mahkamah Konstitusi, jalan pintas hukum yang menguntungkan putranya sendiri, serta pembiaran terhadap rusaknya norma ketatanegaraan—semua memperkuat rasa frustrasi publik. Dalam konteks inilah ijazah menjadi simbol perlawanan moral terhadap kemerosotan integritas negara.

Sebagaimana disampaikan filsuf Hannah Arendt, “Kebenaran politik selalu berada dalam ancaman ketika kekuasaan menggunakan kebohongan sebagai instrumen legitimasi.” UGM, dalam posisi ini, tidak sedang berhadapan dengan publik yang tidak tahu diri, tetapi dengan rakyat yang sedang mencari sandaran etika dalam kekacauan logika kekuasaan.

Dalam budaya Jawa, dikenal ungkapan ajining dhiri saka lathi, ajining rogo saka busana—harga diri seseorang terlihat dari lisannya, kehormatan tampak dari sikapnya. Tetapi kehormatan lembaga pendidikan tercermin dari keberaniannya menjunjung terang, bukan menyembunyikan keraguan.

Peneliti pendidikan tinggi Philip Altbach (2015) menulis bahwa “universitas modern memiliki tiga misi utama: pendidikan, penelitian, dan fungsi sosial sebagai benteng nilai kebenaran.” Maka ketika integritas akademik dipertanyakan, universitas wajib bertindak lebih dari sekadar mengeluarkan pernyataan PR (public relations). Ia harus menyelidiki secara independen, menyampaikan secara terbuka, dan menerima hasilnya dengan sikap ilmiah, bukan politis.

Langkah UGM untuk membentuk tim etik atau audit akademik independen akan sangat bijak dan terhormat. Tidak hanya untuk menjaga nama baik lembaga, tetapi juga untuk membuktikan bahwa kampus besar tidak takut pada pertanyaan rakyat kecil.

Seorang pemikir asal India, Amartya Sen, menyebut dalam bukunya The Idea of Justice (2009) bahwa keadilan bukan hanya soal institusi, tapi soal reasoned scrutiny—kemampuan publik untuk terus bertanya dan institusi untuk menjawab secara rasional. Dalam semangat itulah, pertanyaan publik kepada UGM harus dianggap sebagai bentuk kepedulian, bukan tuduhan.

UGM bisa memilih untuk membela seorang alumni, atau membela nilai-nilai yang melahirkan republik ini: kejujuran, integritas, dan tanggung jawab kepada rakyat. Kampus bukan pabrik ijazah. Ia adalah rahim kebudayaan yang seharusnya melahirkan keberanian moral dan intelektual.

Sebab jika semua lembaga sudah membisu, hanya kampus yang masih mungkin menyuarakan kebenaran.

Dan jika UGM gagal menjawab dengan jernih, maka bukan hanya ijazah yang diragukan, tetapi warisan budaya intelektual kita yang sedang hancurperlahan.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
IDUL FITRI 2025 AHMAD NAJIB Q
advertisement
DOMPET DHUAFA RAMADHAN PALESTIN
advertisement
IDUL FITRI 2025 WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2025 HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2025 HERMAN KHAERON
advertisement
Lainnya
Opini

Mengenal Muhammad Arif Nuryanta, Hakim Terpeleset Suap 60 Miliar

Oleh Rosadi Jamani
pada hari Rabu, 16 Apr 2025
Banyak sudah saya kenalkan koruptor elite di negeri ini. Saya pikir sudah tidak ada lagi. Eh, masih ada nongol. Namanya sangat keren berbau religius, Muhammad Arif Nuryanta. Sambil menunggu makan ...
Opini

Jalan Berliku Upaya Mengadili Sang Mantan

Di negeri +62, kita sudah terbiasa disuguhi drama politik kelas berat: dari proyek mangkrak, utang menumpuk, babak demi babak kasus korupsi, sampai bansos yang tiba tepat sebelum TPS dibuka. Tapi ...