Bandar Lampung kembali digenangi banjir. Hujan deras yang mengguyur kota sejak dini hari mengakibatkan luapan air di berbagai titik, merendam rumah warga, menutup akses jalan, dan melumpuhkan aktivitas harian. Peristiwa ini bukan kali pertama terjadi. Dan ironisnya, bukan pula yang terakhir jika tak segera dilakukan perbaikan menyeluruh.
Menurut banyak kalangan, banjir di kota ini bukan semata bencana alam, melainkan cermin dari krisis kedisiplinan sosial dan kelemahan tata kelola pemerintah daerah dalam merawat lingkungan kota.
Anggota DPR RI, Aprodji, menilai banjir di Bandar Lampung sebagai peringatan keras bagi semua pihak. Ia mengkritisi lemahnya sosialisasi dan pengawasan dari pemerintah daerah terhadap perilaku masyarakat, serta lambannya antisipasi infrastruktur drainase yang memadai.
> "Banjir seperti ini seharusnya bisa dicegah. Masalah utamanya adalah disiplin kolektif. Banyak warga masih membuang sampah sembarangan, dan pemerintah daerah terkesan lamban dalam mengedukasi dan menindaklanjuti. Ini soal keselamatan rakyat. Jangan tunggu korban jiwa baru kita bertindak," tegas Aprodji.
Ia mendorong agar pemerintah daerah menjadikan agenda lingkungan hidup dan penanggulangan banjir sebagai prioritas utama, bukan sekadar rutinitas seremonial setiap musim hujan tiba.
Sementara itu, Rohman Fauzi, tokoh masyarakat dari Kecamatan Kedaton yang rumahnya ikut terdampak banjir, menyatakan perlunya pendekatan yang lebih membumi dalam membangun kesadaran warga.
> "Kalau cuma sosialisasi lewat baliho atau imbauan di media sosial, itu tidak cukup. Perlu ada edukasi langsung di lapangan, di RT-RW, dengan pendekatan budaya lokal. Kita ini masyarakat yang terbiasa dengan pendekatan kekeluargaan, bukan sekadar formalitas," ujarnya.
Rohman juga menekankan pentingnya pelibatan pemuda dan organisasi keagamaan dalam kampanye kebersihan lingkungan.
> "Anak-anak muda harus dilibatkan. Mereka punya energi dan jaringan sosial yang kuat. Kalau bisa, masjid dan gereja juga mengangkat tema lingkungan dalam khotbah atau ibadah. Biar ada kesadaran spiritual soal pentingnya menjaga alam," tambahnya.
Di sisi lain, Sri Wahyuni, aktivis lingkungan dari komunitas Lampung Hijau, menyoroti lemahnya pengawasan terhadap pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
> "Alih fungsi lahan hijau menjadi perumahan tanpa analisis dampak lingkungan yang ketat menjadi bom waktu. Drainase tidak sebanding dengan kapasitas hujan. Pemerintah kota harus tegas, jangan sampai kota ini tumbuh tanpa arah,” katanya.
Peristiwa banjir ini menjadi cermin sekaligus alarm. Kota tak hanya dibangun dengan beton dan aspal, tetapi dengan kesadaran dan kepedulian. Jika masyarakat tak mengubah perilaku dan pemerintah daerah tak berbenah, maka genangan akan terus datang sebagai pengingat bahwa kita telah mengabaikan sesuatu yang mendasar: tanggung jawab bersama terhadap bumi tempat kita berpijak.