Oleh Ariady Achmad pada hari Kamis, 24 Apr 2025 - 09:31:15 WIB
Bagikan Berita ini :

Sufmi Dasco Ahmad: Di Balik Senyap, Ia Merajut Urat Nadi Kebangsaan

tscom_news_photo_1745461875.jpg
(Sumber foto : )

Jakarta, 24 april 2025

Pagi itu, 7 April 2025, suasana di sebuah rumah di kawasan Jakarta Pusat terasa berbeda. Tak ada sorotan kamera, tak ada pernyataan pers. Hanya senyap, kopi hangat, dan percakapan pelan di antara dua tokoh besar yang selama satu dekade berdiri di kutub berseberangan: Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri. Di balik layar pertemuan bersejarah itu, berdiri sosok yang tak banyak bicara, namun tahu betul kapan dan bagaimana simpul-simpul kebangsaan perlu dijahit kembali—Sufmi Dasco Ahmad.

Sebagian orang mengenalnya dengan berbagai julukan. Salah satunya: “Don Dasco”—frasa yang dilontarkan jurnalis senior Dhimam Abror dalam tulisannya di Harian Disway. Julukan itu mengandung nuansa mafia: licin, licik, dan penuh intrik. Tapi siapa pun yang mengenal Dasco lebih dekat tahu bahwa pria kelahiran Bandung ini jauh dari sosok “Don” ala film Hollywood. Ia lebih mirip tukang tenun: sabar, tekun, dan tahu kapan harus mengencangkan benang dan kapan melonggarkannya.

Sebagai Ketua Harian Partai Gerindra dan Wakil Ketua DPR RI, Dasco adalah salah satu figur penting dalam arsitektur kekuasaan hari ini. Tapi alih-alih tampil meledak-ledak atau mengincar panggung-panggung populer, ia justru mengambil posisi sunyi: operator senyap yang mengatur ritme kerja parlemen dan menjembatani berbagai kepentingan yang berseliweran di antara lorong-lorong kekuasaan.

"Politik itu seperti musik. Terlalu keras bikin bising, terlalu pelan bikin orang ngantuk. Kita harus tahu kapan naik, kapan turun,” ujarnya dalam sebuah diskusi tertutup yang penulis ikuti beberapa waktu lalu. Kalimat itu bukan sekadar retorika. Ia mempraktikkannya dalam kerja politik sehari-hari.

Salah satu buktinya tampak dalam proses pembahasan RUU Minerba. Di bawah koordinasinya, DPR menginisiasi rancangan undang-undang yang mengubah paradigma pengelolaan sumber daya alam. Tak lagi hanya berpihak pada korporasi besar, tapi juga membuka ruang bagi ormas keagamaan, kampus, dan pelaku UKM untuk ikut ambil bagian. Sebuah langkah yang berani—dan berisiko.

Banyak pihak mempertanyakan: mengapa harus mengubah peta distribusi ekonomi yang sudah mapan? Tapi Dasco tetap melaju. “Kalau kita mau adil, harus ada koreksi terhadap ketimpangan,” katanya tegas. RUU ini, bagi Dasco, bukan hanya soal tambang dan regulasi. Ini soal bagaimana sila kelima Pancasila—keadilan sosial—tidak berhenti di spanduk dan pidato.

Tapi politik bukan cuma soal legislasi. Ia juga soal rasa: membaca kegelisahan, meredakan ketegangan, membuka percakapan yang lama terhenti. Dalam bulan yang sama, Dasco kembali menunjukkan kemampuannya merajut simpul-simpul yang mulai longgar. Kali ini bukan di parlemen, tapi di luar: ia memfasilitasi dialog antara tokoh-tokoh yang selama ini dikenal kritis, bahkan keras terhadap kekuasaan—seperti Eggi Sudjana dan Rocky Gerung.

Pertemuan itu tak melahirkan konsensus, tapi membuka ruang. Dan dalam demokrasi yang sehat, ruang itulah yang mahal. “Kita tidak harus sepakat, tapi harus tetap sebangsa,” ucap Dasco saat membuka diskusi tersebut.

Hari ini, ketika bangsa sedang bersiap menyambut pemerintahan baru dengan tantangan lama—ketimpangan, ketidakpastian hukum, dan polarisasi sosial—kita butuh lebih banyak pemimpin yang tahu kapan bicara dan kapan mendengar. Yang tidak silau oleh lampu sorot, tapi tetap konsisten bekerja. Yang tidak mengandalkan simbol, tapi membangun substansi.

Sufmi Dasco Ahmad, dengan segala kekurangannya, adalah salah satu dari sedikit politisi yang mengerti bahwa kekuasaan bukan panggung, melainkan amanah. Dan amanah itu tak bisa dipanggul dengan gebyar. Ia harus ditunaikan dalam diam, dalam sabar, dalam kerja yang konsisten.

Karena politik sejatinya bukan soal siapa yang paling lantang. Tapi siapa yang paling tenang dalam menjaga utuhnya republik ini.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
IDUL FITRI 2025 AHMAD NAJIB Q
advertisement
DOMPET DHUAFA RAMADHAN PALESTIN
advertisement
IDUL FITRI 2025 WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2025 HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2025 HERMAN KHAERON
advertisement
Lainnya
Opini

Presiden Trump Janganlah Jadi Kiai Jarkoni

Oleh Fuad Bawazier Menteri Keuangan Era Orde Baru
pada hari Kamis, 24 Apr 2025
Amerika Serikat adalah negeri tempat kita banyak belajar. Para politisi, ekonom dan banyak disiplin ilmu kita belajar di sana. Para dosen dan birokrat kita juga belajar beragam ilmu di Amerika dan ...
Opini

DENNY JA: PERLU DIBENTUKNYA PUSAT STUDI AGAMA DAN SPIRITUALITAS ERA AI

“Tak satu pun institusi keagamaan, tak satu pun ulama, pendeta, biksu, atau pastur—seberbakat apa pun mereka—dapat menandingi kemampuan Artificial Intelligence dalam membaca jutaan ...