Oleh Budhiana Kartawijaya pada hari Kamis, 24 Apr 2025 - 09:33:25 WIB
Bagikan Berita ini :

Mengapa Amerika Keberatan dengan GPN dan QRIS?

tscom_news_photo_1745462005.jpeg
(Sumber foto : )

Keputusan Indonesia meluncurkan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) bukan sekadar inovasi dalam dunia transaksi digital. Lebih dari itu, ini adalah pernyataan tegas tentang kedaulatan ekonomi—tentang siapa yang mengendalikan arus uang, data, dan masa depan negeri ini.

Dari Ketergantungan ke Kemandirian

Sebelum GPN dan QRIS hadir, setiap kali masyarakat Indonesia menggunakan kartu debit berlogo Visa atau Mastercard, data transaksinya langsung mengalir ke luar negeri. Bahkan jika transaksi terjadi antar bank domestik, sistemnya tetap harus melewati jaringan asing. Ironis: kita seperti membayar "uang sewa" hanya untuk bertransaksi di rumah sendiri.

Bank lokal terpaksa tunduk pada sistem dan tarif yang ditetapkan dua raksasa keuangan asal Amerika itu. Padahal, untuk setiap transaksi, mereka memotong biaya antara 1–3%. Kecil jika dilihat per transaksi, tapi jika dikalikan jutaan kali sehari, nilainya bisa mencapai miliaran dolar per tahun. Dan lebih mahal dari uang, mereka juga menyedot data perilaku konsumen Indonesia—sumber daya strategis di era digital ini.

Kerugian Indonesia

Ketergantungan pada jaringan global seperti Visa dan Mastercard membawa sejumlah dampak:

Kebocoran devisa: Pendapatan dari biaya transaksi mengalir ke luar negeri.

Biaya tinggi: Menjadi hambatan bagi UMKM untuk masuk ke ekosistem digital.

Ketidakberdaulatan data: Pola konsumsi rakyat Indonesia dikuasai oleh pihak asing.


Akibatnya, pertumbuhan ekonomi digital terhambat. UMKM yang seharusnya menjadi tulang punggung transformasi digital, justru enggan berpartisipasi karena biaya terlalu mahal.

Solusi: GPN dan QRIS

Diluncurkan masing-masing pada Desember 2017 dan April 2019, GPN dan QRIS hadir sebagai jawaban atas tantangan tersebut.

GPN mengintegrasikan sistem antarbank nasional. Kartu debit dari bank manapun kini bisa digunakan lintas mesin EDC domestik.

QRIS menyatukan semua layanan QR code pembayaran—baik OVO, DANA, Gopay, maupun ShopeePay—dalam satu standar nasional.


Efeknya bukan hanya efisiensi, tetapi juga transformasi besar-besaran dalam arsitektur sistem keuangan Indonesia.

COVID-19 dan Lonjakan QRIS

Pandemi menjadi momentum akselerasi. Ketakutan terhadap uang kertas membuat masyarakat lebih menerima transaksi digital. Ditambah dengan beberapa keunggulan QRIS:

Satu QR untuk semua: Praktis dan hemat.

Biaya nyaris nol untuk UMKM: Mendorong adopsi luas.

Dukungan penuh Bank Indonesia dan ekosistem fintech lokal.

Sejalan dengan gaya hidup digital masyarakat.


QRIS Menjadi Gerakan Regional

Kini QRIS tak lagi eksklusif milik Indonesia. Interkoneksi lintas negara mulai terbangun:

Turis Thailand bisa membayar makanan di Bali dengan dompet digital lokal.

Orang Indonesia bisa ngopi di Kuala Lumpur cukup dengan scan QRIS.

Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina—semua sedang membangun sistem serupa.


Inilah cikal bakal ASEAN Pay: poros baru sistem pembayaran regional yang mandiri dan bebas dari dominasi jaringan asing.

Mengapa Amerika Keberatan?

Kehadiran GPN dan QRIS mengancam bisnis besar:

Fee transaksi miliaran dolar dari negara-negara berkembang mulai menguap.

Negara-negara seperti India, Brasil, hingga Indonesia membangun sistem sendiri.

Dominasi global Visa dan Mastercard perlahan terkikis.


Bukan cuma perusahaan kartu kredit, tetapi juga Google Pay, Apple Pay, PayPal, dan Amazon Pay yang bergantung pada infrastruktur Visa/Mastercard merasa terancam. Data dan pendapatan mereka bisa hilang.

Indonesia Menunjukkan Jalan

Berbeda dari sistem tertutup, Indonesia justru membangun ekosistem inklusif:

OVO, Dana, Gopay, ShopeePay, LinkAja—bukan bersaing mati-matian, tapi saling terhubung melalui QRIS.

UMKM masuk ke ekonomi digital tanpa tergantung pihak asing.

Biaya turun, akses meningkat, dan data tetap berada di dalam negeri.

Keberatan Amerika terhadap GPN dan QRIS bukanlah soal teknologi semata. Ini soal siapa yang mengontrol sistem keuangan global.

Bagi Indonesia, ini adalah langkah berani menuju kedaulatan digital.
Bagi ASEAN, ini adalah landasan untuk masa depan ekonomi yang inklusif dan berdaulat.
Bagi dunia, ini adalah pertanda bahwa dominasi finansial global bisa ditantang—dan dikalahkan—oleh inovasi dan kolaborasi regional.

QRIS bukan sekadar kode. Ia adalah gerakan. Sebuah jalan pulang menuju kedaulatan.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
IDUL FITRI 2025 AHMAD NAJIB Q
advertisement
DOMPET DHUAFA RAMADHAN PALESTIN
advertisement
IDUL FITRI 2025 WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2025 HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2025 HERMAN KHAERON
advertisement
Lainnya
Opini

Presiden Trump Janganlah Jadi Kiai Jarkoni

Oleh Fuad Bawazier Menteri Keuangan Era Orde Baru
pada hari Kamis, 24 Apr 2025
Amerika Serikat adalah negeri tempat kita banyak belajar. Para politisi, ekonom dan banyak disiplin ilmu kita belajar di sana. Para dosen dan birokrat kita juga belajar beragam ilmu di Amerika dan ...
Opini

DENNY JA: PERLU DIBENTUKNYA PUSAT STUDI AGAMA DAN SPIRITUALITAS ERA AI

“Tak satu pun institusi keagamaan, tak satu pun ulama, pendeta, biksu, atau pastur—seberbakat apa pun mereka—dapat menandingi kemampuan Artificial Intelligence dalam membaca jutaan ...