Jakarta, 28 April 2025, TEROPONGSENAYAN.COM - Pagi itu, di tengah langit Jakarta yang mendung, berita besar beredar cepat di kalangan politik dan militer: lebih dari tiga ratus purnawirawan TNI—jenderal, laksamana, marsekal, hingga kolonel—menghimpun suara. Mereka menyerukan seruan keras kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Di antara mereka berdiri sosok tua namun penuh wibawa, Jenderal (Purn) Try Sutrisno, mantan Wakil Presiden RI sekaligus mantan Panglima ABRI.
Dalam sebuah pernyataan tegas, mereka menuntut delapan hal. Namun ada satu yang mengguncang: pencopotan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan Wakil Presiden terpilih. Mereka menilai, proses yang mengantarkan Gibran ke panggung nasional telah merobek prinsip keadilan dan merusak sendi konstitusi. Sebuah luka yang tak bisa dibiarkan menganga.
Di satu sudut, Prabowo Subianto duduk terpekur. Ia, yang sepanjang karier militernya dikenal teguh menghormati senior dan adat korps, kini menghadapi dilema pelik. Gibran adalah sosok yang diusung atas cawe-cawe politik Jokowi, tokoh yang membantu memenangkan dirinya di pilpres paling ketat dalam sejarah republik.
Namun, darah dan sumpah militernya menuntut hal lain: membela kehormatan, menegakkan prinsip.
Bagi Prabowo, ini bukan sekadar soal politik. Ini tentang siapa dirinya di mata sejarah: seorang pemimpin berdaulat atau sekadar perpanjangan tangan dari kepentingan dinasti?
Di ruang lain, Wiranto—Utusan Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan—tampil di hadapan media. Dengan suara datar, ia berkata bahwa Prabowo menghormati masukan para senior, tetapi harus mempelajarinya lebih dalam. Ia mengingatkan soal batasan kekuasaan dalam prinsip trias politica. Bahwa soal mencopot Gibran, katanya, bukan semata wewenang eksekutif.
Namun di balik pernyataan resmi itu, banyak yang menangkap aroma lain. Aroma penundaan. Aroma pengalihan tanggung jawab.
Di kalangan purnawirawan, ketidakpuasan mengendap. Mereka tahu, ini bukan sekadar soal prosedur. Ini soal keberanian mengambil keputusan yang akan menentukan arah bangsa ke depan.
Suara dari para purnawirawan bukan sekadar kritik. Ini adalah suara alarm, sirene peringatan bahwa negeri ini berada di persimpangan berbahaya. Mereka berbicara bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk generasi yang akan datang — generasi yang berhak hidup dalam negara yang menjunjung tinggi hukum, bukan warisan kecurangan.
Di jalanan, di warung-warung kopi, di ruang-ruang diskusi anak muda, keresahan serupa menggema. Publik muak pada politik dinasti dan manipulasi konstitusi yang membusukkan demokrasi.
Kini, semua mata tertuju kepada Prabowo. Rakyat menunggu: apakah ia akan mengundang para purnawirawan, membuka ruang dialog yang jujur, dan mengupayakan jalan konstitusional untuk menegakkan keadilan? Ataukah ia memilih membungkam diri, bersembunyi di balik sekat-sekat protokoler, dan membiarkan dirinya dicap sebagai "boneka Solo"?
Di pundak Prabowo, sejarah kini meletakkan beban berat. Ini bukan hanya tentang Gibran. Ini tentang moralitas kekuasaan. Tentang keberanian memilih jalan yang mungkin sepi, tetapi benar.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #