Jakarta, TEROPONGSENAYAN.COM - Diawal tahun 2025, pemerintah merilis PP No.8/2025 tentang Kebijakan Devisa Hasil Ekspor ( DHE) atas Sumber Daya Alam. tidak tanggung-tanggung, Presiden Prabowo Subianto sendiri yang menyampaikannya kepada publik.
Kebijakan mengenai DHE SDA memang bukan kebijakan baru, melainkan kelanjutan dari PP No36/2023 yang juga mengatur hal yang sama. Yang membuat PP yang baru saja diumumkan itu menarik perhatian adalah karena materi muatannya yang jauh lebih fundamental ketimbang materi muatan PP sebelumnya.
Pada pokoknya, PP No.8/2025 memuat kebijakan yang mewajibkan 100% Devisa Hasil Ekspor yang berasal dari transaksi atas Sumber Daya Alam untuk disimpan selama 1 tahun didalam negeri. Kebijakan ini mulai berlaku terhitung sejak tanggal 1 Maret 2025.
Menurut keterangan Presiden Prabowo, kebijakan ini akan menambah cadangan devisa negara USD 80 Milyar 100 Milyar. Penambahan ini tentu saja akan memperkuat cadangan devisa kita.
Sejak krisis ekonomi tahun 1997-1998, Indonesia memutuskan untuk menganut sistem devisa bebas dalam pengelolaan moneter nasional. Hingga saat ini, kebijakan itu masih terus menjadi landasan kebijakan moneter nasional. Tentu ada banyak argumen kuat yang mendukung pilihan ini. Termasuk diantaranya adalah karena sistem ini telah menjadi praktek terbaik (international best practices) dunia yang mayoritas diterapkan oleh berbagai negara di dunia.
Rezim Lalu Lintas Devisa Bebas ( LLDB ) yang kita anut sejak reformasi bukannya tidak memberi manfaat bagi perekonomian Indonesia. Sebaliknya, manfaatnya cukup besar dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Kemudahan melakukan transaksi lintas negara salah satunya. Sejak Indonesia memberlakukan Rezim LLDB, tercatat terjadinya peningkatan cadangan devisa yang cukup signifikan sejak krisis moneter tahun 1997.
Sekalipun manfaatnya besar, bagi perekonomian Indonesia dari pemberlakuan Rezim Devisa Bebas, tetap saja ada banyak hal yang juga secara sistematis merugikan kepentingan perekonomian nasional.
Diantara risiko sistematis yang mesti ditanggung adalah risiko “ pembalikan tiba-tiba ( Sudden Reversal)” yang terus membayangi sektor keuangan Indonesia. Perilaku arbitrari dari spekulan keuangan masih terus membayangi setiap kebijakan ekonomi nasional. Pada tingkat tertentu, sering pula membuat pengambil kebijakan nasional tersandera dalam mengambil kebijakan yang pada dasarnya sangat menguntungkan kepentingan nasional dalam jangka panjang.
Demikian juga dengan kenyataan yang sudah sering di sampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto, mengenai relokasi kekayaan negara. Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia masih belum secara optimal memiliki dampak besar bagi struktur perekonomian nasional.
Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di ASEAN, ironisnya cadangan devisa Indonesia hanya berada diurutan ketiga (USD 157 Milyar) di bawah Singapura (USD 512 Milyar) dan Thailand (USD 253 Milyar). Sepanjang 2024 total aliran dana Indonesia yang mengalir ke Singapura sebesar Rp 4806 Triliun.
Belum lagi besarnya aset milik orang Indonesia yang terparkir di luar negeri. Di Singapura saja disinyalir terdapat tidak kurang dari USD 200 Miliar. Ringkasnya, Manfaat perekonomian atas kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia, belum memberikan manfaat optimal.
Selain itu, dari perspektif perpajakan, lubang dalam sistem arus devisa kita menyebabkan mudahnya banyak pihak melakukan praktik penghindaran pajak. Termasuk dengan melakukan berbagai teknik “Transfer Pricing” yang sangat merugikan negara.
Pelaku usaha tidak keliru jika memutuskan untuk membentuk struktur berlapis atas kepemilikan asetnya di Indonesia. Tetapi menjadi masalah bagi kepentingan nasional apabila struktur kepemilikan itu justru tidak memberi manfaat optimal bagi kepentingan ekonomi nasional.
Dalam dua dekade terakhir, banyak pelaku usaha melakukan praktik Inversi pajak ( tax inversion) dengan memanfaatkan lubang dalam kemudahan arus devisa kita. Restrukturisasi kepemilikan perusahaan yang memperoleh manfaat besar dari kekayaan sumber daya alam Indonesia menyebabkan penerima manfaat terbesarnya bukan lagi Indonesia, melainkan negara lain. Terutama Singapura.
Kesemuanya itu menjadi sangat mudah dikarenakan lemahnya kemampuan sistem kita dalam memperoleh manfaat optimal. Hampir-hampir tak ada halangan bagi perilaku arbitrari keuangan semacam ini untuk merelokasi manfaat keuangannya.
Kebijakan Devisa Hasil Ekspor merupakan kebijakan jenial yang patut terus dijaga. Kebijakan ini merupakan cara mujarab untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam sistem ekonomi kita.
Pada dasarnya Indonesia tetap menganut rezim devisa bebas, tapi dengan perspektif yang lebih kuat dan matang. Kebijakan Devisa Bebas harus memberi manfaat besar bagi perekonomian nasional.
Banyak pihak yang akan merasa terganggu dengan kebijakan ini. Karena itu, akan banyak upaya- upaya untuk meredesain ulang kebijakan ini. Kami menyebutnya “ redesain” dikarenakan mereka pun sadar bahwa pemerintah sekarang memiliki sikap yang kukuh terhadap kebijakan ini yang tidak memungkinkan untuk merubahnya.
Data ekonomi terakhir menunjukkan bahwa pelemahan pertumbuhan ekonomi sebagian besar dipengaruhi oleh lemahnya belanja pemerintah. Ini memang mesti segera diatasi oleh pemerintah.
Kebijakan-kebijakan fundamental pemerintahan Prabowo, termasuk kebijakan atas devisa hasil ekspor akan memperkuat fundamental ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global. Cadangan devisa Maret 2025 mencatat angka tertinggi dalam sejarah ( all time high ), sebesar USD 157,1 Milyar. Pencapaian ini terjadi di tengah kuatnya tekanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap US Dollar, yang tentunya berbiaya mahal bagi Bank Indonesia dalam upaya pengendaliannya.
Demikian juga pertumbuhan dana pihak ketiga Year on Year yang tumbuh 5,75% dan diperkirakan akan tumbuh terus di tengah pelemahan ekonomi global. Tidak ada gejala “ Capital flight” besar-besaran seperti yang dikhawatirkan banyak orang. Pasar saham yang sempat terkoreksi tajam oleh berbagai isu juga menunjukkan indikasi positif dan mulai menemukan kembali momentumnya.
Mudah-mudahan kesemuanya itu menunjukkan munculnya pemahaman yang makin baik dikalangan pelaku ekonomi terhadap berbagai kebijakan fundamental pemerintah akhir-akhir ini. Pada akhirnya, tidak ada kebijakan ekonomi yang benar-benar sempurna. Wallahualam.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #