Majalah Tempo edisi 25 Mei 2025 memuat temuan penting yang perlu mendapat perhatian publik dan aparat penegak hukum: adanya indikasi keistimewaan dalam kontrak pengadaan solar industri antara PT Pertamina dan PT Adaro Minerals Indonesia.
Menurut laporan tersebut, Adaro diduga memperoleh harga solar jauh di bawah harga keekonomian—bahkan lebih rendah dari harga subsidi resmi pemerintah. Salah satu jaksa, narasumber utama dalam liputan ini, menyebut kontrak tersebut sebagai “tidak wajar”. Kontrak itu berlaku sejak tahun 2015 dan disebut berlangsung selama 10 tahun, dengan nilai pengadaan mencapai Rp7 triliun per tahun.
Berdasarkan informasi yang dikutip, diskon umum untuk pembeli besar (kelas kakap) biasanya berada di kisaran 22–32%, dengan syarat pembayaran tunai di muka. Namun, Adaro disebut menerima diskon luar biasa: 45–55%, dengan sistem pembayaran cash on delivery (COD), yang tentu jauh lebih menguntungkan dari sisi likuiditas.
Mari kita periksa satu contoh konkret. Pada 2021, Adaro tercatat membeli 521.540 kiloliter solar. Pada tahun itu, harga keekonomian solar industri adalah Rp12.000 per liter, sementara harga subsidi pemerintah berada di angka Rp9.700 per liter. Namun, Adaro diduga hanya membayar Rp6.000 per liter—lebih murah daripada harga subsidi yang seharusnya ditujukan untuk masyarakat luas dan sektor usaha mikro.
Pertanyaannya: atas dasar apa diskon sedemikian besar diberikan?
Secara struktural, kewenangan memberikan diskon berada di tangan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga sebagai anak usaha yang menangani niaga produk BBM. Dalam kondisi tertentu, terutama bila pengadaan berasal dari stok nasional, diskon juga dapat disetujui oleh Direktur Utama PT Pertamina selaku induk usaha. Namun, tak dijelaskan alasan spesifik mengapa diskon ekstrem ini bisa diberikan kepada Adaro.
Untuk memahami konteks ini, mungkin perlu menilik struktur kepemilikan dan jaringan afiliasi dari entitas yang terlibat. Aktivitas PT Adaro Minerals diketahui terkait erat dengan PT Alamtri Resources Indonesia. Sejumlah saham di perusahaan-perusahaan ini dikuasai secara langsung maupun tidak langsung oleh Garibaldi Thohir alias Boy Thohir, pemilik utama Grup Adaro melalui PT Trinugraha Thohir dan PT Adaro Strategic Investment. Yang menarik, Boy Thohir merupakan kakak kandung Erick Thohir, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sementara itu, PT Pertamina adalah salah satu BUMN strategis di bawah kendali Kementerian BUMN.
Apakah koneksi ini relevan? Secara hukum tentu harus dibuktikan dalam proses penyelidikan yang independen dan transparan. Namun, dalam sistem demokrasi yang sehat, keterkaitan aktor politik, bisnis, dan pengelolaan sumber daya publik harus menjadi perhatian utama. Publik berhak tahu jika ada konflik kepentingan atau penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kebocoran dana subsidi dan kompensasi energi.
Saya menulis ini bukan sebagai penghakiman, melainkan sebagai bentuk pertanggungjawaban moral. Dalam banyak tulisan sebelumnya, saya berkali-kali menyampaikan keprihatinan bahwa sistem distribusi subsidi energi kita menyimpan banyak kamar gelap—tempat di mana kepentingan bisnis besar bisa saja menumpang lewat jalan belakang.
Kini, Tempo membukakan sebagian pintunya. Mari kita dorong agar pintu itu benar-benar terbuka lebar.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #