JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi VIII DPR RI Selly Andriany Gantina mengkritisi pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon yang menyebut peristiwa pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998 hanya sebuah rumor sejarah lantaran tidak ada bukti. Menurutnya, pernyataan tersebut kembali mengorek luka lama bagi korban.
"Sebagai anggota Komisi VIII DPR RI yang memiliki mandat untuk memperjuangkan perlindungan dan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan, saya menyampaikan keprihatinan mendalam atas pernyataan yang menyebut seolah tidak pernah terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan dalam tragedi Mei 1998," ujar Selly, Selasa (17/6/2025).
Padahal, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998 menemukan adanya tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta, Medan, dan Surabaya dalam kerusuhan 1998.
Bentuk kekerasan seksual itu dibagi dalam empat kategori, yakni pemerkosaan (52 korban), pemerkosaan dengan penganiayaan (14 orang), penyerangan/penganiayaan seksual (10 orang), dan pelecehan seksual (9 orang).
Dalam laporan tersebut disebutkan pula bahwa selain korban-korban kekerasan seksual yang terjadi dalam kerusuhan Mei, TPGF juga menemukan korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah kerusuhan Mei. Kasus-kasus kekerasan seksual ini ada kaitannya dengan kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan.
"Sejarah bangsa ini mencatat bahwa pascareformasi, negara melalui pembentukan Komnas Perempuan, telah mengakui adanya kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan yang dialami oleh perempuan dalam situasi kerusuhan Mei 1998," jelas Selly.
Selly menegaskan, kesaksian korban dan upaya dokumentasi yang dilakukan oleh banyak pihak, baik negara, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun organisasi masyarakat sipil, bukanlah sesuatu yang bisa begitu saja dihapuskan dari ingatan kolektif seluruh warga negara Indonesia.
"Pernyataan yang mereduksi fakta sejarah semacam ini sangat rentan melukai kembali para penyintas. Kita perlu sangat hati-hati ketika berbicara tentang peristiwa traumatik, apalagi jika menyangkut luka yang masih belum benar-benar pulih," sebut Legislator dari Dapil Jawa Barat VIII itu.
Seperti diketahui, Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam sebuah wawancara mengeklaim bahwa peristiwa pemerkosaan massal pada Mei 1998 tidak ada buktinya. Menurutnya, cerita tentang peristiwa tersebut tidak ada dalam buku sejarah dan hanya berdasarkan rumor yang tidak menyelesaikan persoalan.
Ketika ditanya soal laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang mengungkap kesaksian dan bukti yang menunjukkan bahwa para perempuan menjadi target perkosaan, Fadli Zon menyebut TGPF ‘pernah membantah’ dan ‘tak bisa bisa membuktikan’.
Adapun saat ini Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan tengah menggarap penulisan ulang sejarah nasional yang ditargetkan rampung pada Agustus 2025. Buku sejarah baru ini akan diluncurkan bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia. Fadli Zon mengatakan, buku sejarah yang sedang dibuat oleh Pemerintah saat ini diharapkan ‘bisa mempersatukan bangsa’.
Namun dalam draf Kerangka Konsep Penulisan ‘Sejarah Indonesia’ ini, ternyata sejumlah pelanggaran HAM berat tidak dimasukkan. Diantaranya, pemerkosaan perempuan Tionghoa dalam Peristiwa Mei 1998, penembakan misterius (Petrus), penghilangan paksa aktivis 1997-1998, tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, serta kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Papua.
Oleh karena itu, Selly menyatakan penting untuk tetap menjaga fakta-fakta yang terjadi dalam tragedi kerusuhan Mei 1998 sebagai sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang tidak bisa dihapuskan begitu saja.
"Kami percaya bahwa pengakuan terhadap kebenaran sejarah merupakan langkah awal yang penting untuk pemulihan korban dan pendewasaan demokrasi dengan berpijak pada prinsip kemanusiaan, keadilan gender, dan keberpihakan pada kelompok rentan,” papar Selly.
Anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan perlindungan perempuan ini berharap agar semua pihak, terutama pejabat publik, dapat mengedepankan empati, kehati-hatian, dan tanggung jawab moral ketika berbicara tentang tragedi bangsa. Terlebih, kata Selly, pernyataan ini dilontarkan oleh seorang Menteri Kebudayaan yang seharusnya menjaga fakta sejarah, serta tidak memperdalam ketidakadilan dan pengabaian terhadap hak-hak korban.
"Jika pun ada pandangan berbeda, seyogianya disampaikan dalam kerangka dialog konstruktif, bukan dalam bentuk penyangkalan yang dapat menambah beban luka para korban," tegasnya.
"Mari kita jaga martabat bangsa ini dengan tidak melupakan atau mengingkari bagian gelap dari sejarahnya, sebaliknya, kita justru harus belajar darinya," pungkas Selly.