JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani sepakat dengan larangan permainan digital seperti Roblox bagi pelajar. Ia pun berpandangan larangan game dengan konten yang meresahkan bagi anak-anak harus dibarengi dengan kebijakan sistematis, termasuk peningkatan literasi digital di sekolah.
Menurut Lalu, tantangan digital yang dihadapi anak-anak Indonesia saat ini bukan saja bersifat teknis, tetapi sudah menyangkut aspek etika, keamanan, hingga ketahanan mental.
"Literasi digital bukan proyek penyuluhan teknologi, tetapi proyek peradaban yang menentukan kualitas demokrasi dan kemanusiaan masa depan,” kata Lalu, Senin (11/8/2025).
Lalu pun mendorong Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) untuk memasukkan literasi digital ke dalam kurikulum pendidikan nasional.
“Literasi digital penting untuk ada di kurikulum sekolah sebagai bagian dari pendidikan karakter di era digital. Maka kami mendorong Kemendikdasmen untuk menyusun kerangka kurikulum literasi digital yang responsif terhadap realitas sosial anak-anak masa kini,” tuturnya.
Ditambahkan Lalu, penyusunan kurikulum harus melibatkan banyak pihak seperti psikolog, pendidik, komunitas digital, serta anak dan remaja. Hal ini dimaksudkan agar literasi digital yang diharapkan ada di sekolah, dapat memuat semua unsur yang dibutuhkan bagi anak-anak peserta didik.
"Kurikulum yang baik bukan hanya sarat jargon digital, tetapi juga membumi dan kontekstual misalnya, bagaimana remaja menilai informasi keliru di media sosial, memilih tayangan yang sesuai usia, serta mengontrol waktu layar,” jelas Lalu.
Menurut pimpinan komisi di DPR yang membidangi urusan pendidikan itu, sekolah formal harus bertransformasi dari sekadar tempat transfer ilmu menjadi ruang pembentukan karakter digital. Lalu mengingatkan, barrier (pembatas) bagi anak-anak harus semakin dipertebal di tengah keterbukaan informasi yang sangat mudah diakses di era kemajuan teknologi ini.
"Literasi digital tidak boleh hanya diposisikan sebagai pelengkap atau pengayaan, melainkan sebagai kompetensi dasar yang wajib dibentuk sejak dini,” tegasnya.
Lalu setuju dengan langkah (Mendikdasmen) Abdul Mu"ti yang melarang anak-anak di bawah umur memainkan game Roblox karena permainan tersebut dianggap menampilkan banyak adegan kekerasan. Tingkat intelektualitas para murid jenjang pendidikan SD belum sepenuhnya mampu membedakan mana adegan nyata dan rekayasa.
“Dan saya sepakat, anak-anak usia dini kan gampang banget menirukan apa yang mereka lihat. Kalau setiap hari yang dilihat paparan konten negatif, kita khawatir ya anak-anak merasa hal itu wajar untuk dilakukan juga,” sebut Lalu.
“Apalagi konten dalam game Roblox sebagian besar dibuat oleh pengguna, yang artinya tidak ada sistem saringannya. Ini sangat membahayakan jadi memang lebih baik ditutup saja konten atau platform seperti Roblox ini,” imbuhnya.
Lalu berpandangan fenomena digitalisasi menjadi tantangan serius bagi anak-anak. Menurutnya, anak-anak tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga sasaran algoritma negatif seperti adiksi gawai, hoaks, cyberbullying, dan manipulasi data pribadi yang harus direspons melalui pendidikan.
"Mengajarkan anak untuk menggunakan perangkat lunak atau mengakses informasi bukan lagi cukup. Yang lebih mendesak adalah membekali mereka dengan kesadaran kritis terhadap algoritma, perlindungan privasi, hingga pemahaman kontekstual seputar etika berteknologi,” papar Lalu.
Lalu pun menilai pendekatan pendidikan saat ini masih terlalu teknis dan belum menyentuh karakter digital secara utuh sehingga mendorong agar literasi digital diarahkan pada pembentukan kemampuan berpikir kritis dan kesadaran diri di ruang digital.
"Yang dibutuhkan anak-anak bukan hanya bisa pakai teknologi, tapi tahu kapan tidak dipakai,” ucap Legislator dari Dapil Nusa Tenggara Barat II itu.
Lebih lanjut, Lalu mengatakan perkembangan zaman saat ini adalah momentum untuk mereformasi pendidikan agar tidak hanya mencetak generasi yang cakap teknologi, tetapi juga bijak dan berkarakter di era digital.
"Anak-anak tumbuh dalam ekosistem yang didominasi konten visual, validasi sosial, dan interaksi instan. Mengajarkan mereka sekadar bisa pakai teknologi sama saja membiarkan mereka menjelajahi jalan bebas hambatan tanpa rambu-rambu," sebut Lalu.
Oleh karenanya, Lalu kembali mengingatkan bahwa pendidikan digital yang ideal harus memihak pada pembentukan daya tahan terhadap disinformasi, kecanduan konten, hingga pelecehan daring.
“Anak-anak harus memahami bahwa tidak semua yang viral itu benar, tidak semua yang gratis itu aman, dan tidak semua yang disukai algoritma itu layak diikuti," tutupnya.