Oleh Sahlan Ake pada hari Selasa, 12 Agu 2025 - 13:08:15 WIB
Bagikan Berita ini :

Kritik Film 'Merah Putih One For All', DPR Suarakan Aspirasi Rakyat

tscom_news_photo_1754978895.jpeg
Merah Putih For On All (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Kritik DPR RI terhadap film Merah Putih One for All dinilai sebagai bentuk nyata penyampaian aspirasi publik sekaligus dorongan konstruktif bagi kemajuan industri film nasional. Pengamat komunikasi politik, Silvanus Alvin menilai kritik ini sebagai afirmasi atas berbagai masukan publik terhadap kualitas film tersebut.

"Kritik ini adalah wujud nyata DPR menyuarakan suara rakyat, agar karya kreatif Indonesia terus berkembang dengan standar tinggi tanpa kehilangan jati diri bangsa," ujar Alvin, Selasa (12/8/2025).

Sebagai informasi, Film "Merah Putih": One For All" yang digarap Perfiki Kreasindo menuai kritik tajam, terutama setelah informasi mengenai biaya dan proses produksinya tersebar luas. Film yang disutradarai dan ditulis oleh Endiarto dan Bintang, serta diproduseri oleh Toto Soegriwo itu, diklaim menghabiskan biaya produksi sebesar Rp 6,7 miliar dengan waktu pengerjaan kurang dari satu bulan.

Jangka waktu pengerjaan yang sangat singkat ini memunculkan dugaan bahwa proyek tersebut dikerjakan terburu-buru, agar bisa tayang bertepatan dengan momen 17 Agustus. Film animasi lokal ini berfokus pada sebuah desa yang tengah antusias dalam menyambut datangnya Hari Kemerdekaan Indonesia.

Salah satu sorotan utama warganet muncul setelah terungkap bahwa sejumlah aset dalam film, seperti latar jalanan dan karakter, bukan hasil produksi mandiri, melainkan dibeli dari toko digital seperti Daz3D. Informasi ini pertama kali diungkap oleh YouTuber Yono Jambul.

Adapula yang mengkritik pembuatan poster film ‘Merah Putih": One For All" karena dianggap asal-asalan. Bahkan seorang desainer grafis membuat konten ‘merombak’ poster film ‘Merah Putih": One For All" dengan mudahnya, untuk menunjukkan bahwa kalau digarap dengan lebih baik, hasil poster bisa semakin bagus.

Terkait hal tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian mengatakan respons dan kritik publik terhadap film ‘Merah Putih": One For All" harus menjadi evaluasi agar meningkatkan kualitas film animasi Indonesia ke depannya.

Apalagi, Lalu mengatakan informasi terkait film "Merah Putih" One For All" masih terbatas untuk diakses publik. Di internet film itu disebut hanya bertema nasionalisme. Sementara terdapat isu kontroversial yang perlu dijelaskan terutama soal anggaran dan kualitas film.

Menanggapi kritik dari DPR, Alvin mengatakan hal tersebut mencerminkan komitmen dewan dalam mendorong karya kreatif Indonesia. Menurutnya, DPR tidak hanya berperan sebagai pengawas, tetapi juga sebagai fasilitator dialog antara pemerintah, pelaku industri kreatif, dan masyarakat.

"Pernyataan yang dilontarkan oleh Bapak Lalu sebagai Wakil Ketua Komisi X tidak didorong dengan semangat "mencari kesalahan" melainkan mendorong evaluasi konstruktif. Artinya, menangkap aspirasi publik berupa kritik dan kritik itu diarahkan pada perbaikan," tutur Alvin.

Dari perspektif komunikasi politik, Alvin berpandangam ketika isu yang ramai di media sosial diangkat ke forum DPR, hal itu memiliki efek simbolis yang kuat.

"Ketika isu yang ramai di media sosial diangkat ke forum DPR, publik merasa bahwa pandangan mereka diakui dan diperjuangkan," sebut dosen milenial salah satu perguruan tinggi swasta ini.

Untuk mengawal kontroversi film Merah Putih "One For All", Alvin pun mengatakan DPR bisa menjadi wadah agar pemerintah dan pelaku industri kreatif dapat berdialog.

"DPR juga dapat berperan sebagai fasilitator dialog dapat berperan penting dalam mempertemukan pemerintah, pelaku industri kreatif, dan masyarakat untuk membahas cara mempertahankan pesan kebangsaan dalam karya populer sambil meningkatkan kualitas produksinya," ucap Alvin.

Penulis buku Komunikasi Politik di Era Digital itu berharap, DPR mampu memastikan bahwa narasi kebangsaan tetap hadir dalam karya film yang dikemas menarik dan relevan bagi generasi sekarang. Dengan begitu, kata Alvin, kritik yang disampaikan tidak hanya fokus pada kelemahan teknis.

“Tetapi juga diarahkan untuk memastikan bahwa narasi nasionalisme tetap hadir, relevan, dan dikemas secara menarik bagi audiens," tambahnya.

Lebih lanjut, Alvin mengatakan DPR memegang peran penting untuk memastikan ekosistem industri kreatif nasional terus tumbuh dan mendapat dukungan strategis.

"Indonesia pernah memiliki film Jumbo yang membanggakan, yang menjadi bukti bahwa karya lokal mampu menembus prestasi tinggi, tidak kalah dengan anime atau Hollywood,” ungkap Alvin.

Ke depan, Alvin berharap DPR dapat memastikan bahwa pelaku kreatif terpacu untuk memproduksi hasil karya fenomenal.

"Bukan justru takut berkarya karena khawatir dikritik,” kata Master of Arts di bidang Media and Public Relations dari University Of Leicester Inggris itu.

“Di sinilah peran DPR menjadi krusial, bukan hanya sebagai pengawas, tetapi juga sebagai pemberi dukungan dan motivasi strategis bagi kemajuan industri kreatif nasional," imbuh Alvin.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian mengatakan masukan publik harus menjadi bahan evaluasi pembuat film animasi. Hal ini ia sampaikan merespons kritik publik terhadap film Merah Putih "One For All".

"Bagi saya, masukan publik terhadap animasi tersebut adalah bagian dari proses evaluasi yang penting untuk mendorong pelaku industri kreatif agar terus berbenah dan meningkatkan kualitas karyanya," ucap Lalu.

Lalu menilai dukungan masyarakat terhadap industri film Indonesia tetap diperlukan. Hal itu penting untuk terus memperbaiki kualitas film dari industri lokal.

"Dukungan ini diperlukan sebagai bagian dari upaya kita dalam memajukan konten kreatif, terutama konten film animasi Indonesia," tutupnya.

tag: #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement