-9 September 2025-
Korupsi adalah penyakit lama dalam politik Indonesia. Hampir semua rezim penguasa tidak luput darinya. Tetapi, kapan suatu rezim layak disebut sebagai rezim maling, sebuah kleptokrasi? Sebuah rezim dapat disebut demikian bila korupsi tidak hanya terjadi secara masif, dilindungi—bahkan dilahirkan—oleh penguasa itu sendiri, dan berjalan sebagai logika rejim itu sendiri..
Ironisnya, kleptokrasi di Indonesia bukan lahir dari niat jahat yang dirancang sejak awal, melainkan sebagai konsekuensi tak terduga dari sistem politik yang dibangun setelah Reformasi 1998. Reformasi itu sendiri lahir sebagai revolusi tanpa senjata. Ia dipicu oleh amarah rakyat, keputusasaan terhadap rezim lama, sekaligus keyakinan bahwa demokrasi bisa membersihkan politik Indonesia dari noda KKN—korupsi, kolusi, dan nepotisme—yang selama tiga dekade menjadi ciri khas Orde Baru.
Pada awalnya, harapan itu begitu besar. Setiap langkah kecil terasa monumental. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (2002) disambut bak tonggak sejarah. Ketika pejabat tinggi ditangkap, partai besar dipermalukan, dan pengadilan berjalan terbuka, rakyat bersorak seolah sejarah benar-benar berpihak kepada mereka.
Namun, janji itu perlahan pudar. Reformasi memang membuka ruang demokrasi, tetapi pada saat yang sama menyediakan panggung lebih luas bagi oligarki untuk beradaptasi. Sistem multipartai dan pemilu langsung yang diharapkan menjadi mekanisme partisipasi rakyat, justru berubah menjadi lahan subur bagi patronase, transaksi politik, dan aliran uang gelap. Dua dekade setelah Soeharto tumbang, bangsa ini mendapati kenyataan pahit: korupsi tidak menyusut, tetapi justru tumbuh lebih besar, lebih dalam, dan semakin sistemik.
Era SBY: Cahaya yang Meredup
Masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (2004–2014) kerap disebut sebagai era “setengah jalan”. Di satu sisi, KPK bersinar terang. Dalam satu dekade, publik menyaksikan pemandangan yang sebelumnya tak terbayangkan: seorang menteri aktif digelandang ke tahanan, gubernur jatuh satu demi satu, bahkan ketua partai besar dijerat hukum. Dunia pun memuji Indonesia; pemberantasan korupsi kita disebut salah satu yang paling progresif di dunia berkembang.
Tetapi kenyataan di lapangan jauh lebih rumit. Skandal besar seperti Bank Century dengan kerugian sekitar Rp 6,7 triliun mengguncang kepercayaan publik. Kasus Hambalang menunjukkan betapa proyek negara bisa menjadi arena perburuan rente. Laporan BPK pada periode itu mencatat kerugian negara mencapai puluhan triliun, sementara ICW mendata ratusan anggota DPR/DPRD dan puluhan kepala daerah terseret kasus.
SBY menghadapi dilema mendasar. Di satu sisi, ia membiarkan KPK bekerja keras. Namun di sisi lain, ia tetap presiden dari sistem politik yang terkunci oleh partai dan koalisi. Ia butuh dukungan politik untuk memerintah, dan kompromi menjadi jalan yang ditempuh. Hasilnya, KPK memang kuat, tetapi akar korupsi tidak pernah tercabut.
Jokowi: Dari Kesederhanaan ke Poros Oligarki
Ketika Joko Widodo muncul pada 2014, ia membawa aura berbeda. Ia datang sebagai “anak rakyat biasa”—bukan jenderal, bukan elite partai lama, bahkan sempat dianggap orang luar. Rakyat menaruh harapan besar: mungkin inilah presiden yang benar-benar bersih, lahir dari kesederhanaan, dan bebas dari beban oligarki lama.
Namun sepuluh tahun kemudian, bayangan yang tampak justru lain. Jokowi bukan hanya menjadi bagian dari oligarki, melainkan poros konsolidasi oligarki itu sendiri. Hampir semua partai besar masuk ke dalam koalisinya. Oposisi yang seharusnya menjadi penyeimbang nyaris tak ada. Ruang politik yang kosong dari kritik itu menjadi ladang subur bagi korupsi untuk tumbuh tanpa kendali.
Dan di titik inilah, Indonesia mendapati dirinya berada di ambang rezim kleptokrasi.
Megakorupsi Tanpa Preseden
Perbedaan paling mencolok antara era SBY dan Jokowi terletak pada skala. Jika di masa SBY nilai kerugian negara masih berkisar puluhan triliun, di masa Jokowi korupsi melonjak ke level ratusan triliun.
Beberapa kasus mencatat rekor sejarah:
•â â Asabri: ±Rp 23 triliun.
•â â Jiwasraya: ±Rp 17 triliun.
•â â Pertamina (2018–2023): ±Rp 193,7 triliun.
•â â PT Timah: ±Rp 300 triliun.
•â â Skandal Chromebook: ±Rp 9,9 triliun.
Jika dulu korupsi identik dengan suap miliaran, kini ia menjelma menjadi perampokan sistematis atas BUMN, proyek infrastruktur, dan lembaga keuangan negara. Negara, alih-alih melindungi rakyat, justru dijadikan mesin ekstraksi untuk memperkaya segelintir elite.
Runtuhnya Sistem Koreksi
Mengapa korupsi bisa sedemikian masif di era Jokowi? Karena sistem pengawasan dihancurkan dari dalam.
•â â KPK dilemahkan lewat revisi UU 2019, pegawai kritis dipaksa keluar melalui tes wawasan kebangsaan yang absurd.
•â â Mahkamah Konstitusi dipolitisasi, menjadi instrumen dinasti. Putusan yang meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden menjadi simbol paling telanjang.
•â â Polisi dan kejaksaan lebih sering dipakai sebagai alat politik ketimbang penjaga hukum.
Tanpa sistem imun, demokrasi kehilangan daya tahan. Korupsi bukan lagi penyimpangan, melainkan modus operandi pemerintahan.
Jika SBY mengandalkan elite partai, Jokowi membangun sesuatu yang berbeda: dinasti politik. Putranya, Gibran, menjadi wakil presiden melalui jalan pintas konstitusional. Kaesang, anak bungsu, menjadi ketua partai. Dinasti ini bukan sekadar simbol keluarga berkuasa, melainkan infrastruktur politik yang memastikan jejaring rente tetap terjaga.
Dalam kacamata teori sistem, kleptokrasi ini bersifat autopoietik—ia mereproduksi dirinya sendiri. Seorang menteri boleh ditangkap, seorang pejabat boleh dipenjara, tapi jaringan tetap hidup. Yang dilindungi bukan hanya individu, melainkan sistem oligarkis itu sendiri.
Korupsi di era Jokowi tidak lagi sebatas relasi politisi dengan pengusaha. Ia berkembang menjadi jaringan multi-aktor: BUMN, kementerian, vendor swasta, partai politik, bahkan dinasti keluarga.
Jaringan ini modular: ketika satu simpul jatuh, simpul lain segera mengambil alih. Ia adaptif dan saling menopang. Jika korupsi Orde Baru bisa diputus dengan tumbangnya Cendana, maka korupsi di era Jokowi jauh lebih sulit, karena terdistribusi dan berlapis.
Dimensi lain yang tak kalah penting adalah faktor global. Proyek infrastruktur berbasis utang luar negeri dan investasi Tiongkok memberi ruang baru bagi rente transnasional. Jalan tol, kereta cepat, food estate—semuanya menjadi ladang rente bersama antara elite domestik dan kapital asing.
Artinya, korupsi di era ini tidak hanya merampok rakyat Indonesia, tetapi juga menjerat negeri ini dalam ketergantungan yang lebih dalam terhadap modal global. Demokrasi bukan hanya subordinat dari oligarki nasional, melainkan juga dari kepentingan transnasional.
Jokowi Pendiri Rejim Kleptokrasi
Dari perbandingan pasca-Reformasi, pola evolusi terlihat jelas:
•â â SBY (2004–2014): korupsi banyak, tapi KPK kuat, sistem koreksi masih hidup.
•â â Jokowi (2014–2024): korupsi masif, nilai ratusan triliun, sistem koreksi lumpuh, oligarki terkonsolidasi, dinasti politik berkuasa.
Setiap rejim penguasa di Indonesia tidak terhindar dari korupsi. Namun baru di era Jokowi korupsi itu meluas. mengakar dan menempel erat pada sistem. Atas dasar itu kita dapat mengatakan bahwa rejim kekuasaan Jokowi adalah rejim kleptokrasi (rejim para maling).
Jokowi dapat dianggap sebagai peletak fondasi rezim kleptokrasi karena di bawah kepemimpinannya, korupsi bukan hanya berlangsung secara masif, tetapi juga dilembagakan melalui runtuhnya mekanisme pengawasan dan konsolidasi oligarki. Revisi UU KPK 2019 yang melemahkan lembaga antikorupsi, pemanfaatan Mahkamah Konstitusi untuk kepentingan dinasti, serta lumpuhnya mekanisme check and balance. Di atas fondasi itulah kleptokrasi berkembang: bukan sekadar praktik individu mencari rente, melainkan jaringan multi-aktor yang adaptif, mencakup BUMN, kementerian, partai politik, hingga keluarga presiden sendiri. Dengan kata lain, Jokowi menormalisasi korupsi sebagai modus utama kekuasaan, dan itulah yang menjadikannya peletak dasar rezim kleptokrasi oligarki di Indonesia.
Atas alasan diataslah mengapa era Jokowi layak disebut sebagai rejim kleptokrat (rejim maling). Skala, kedalaman, dan kompleksitas korupsi mencapai titik ekstrem.
Epilog: Jalan di Persimpangan
Dua puluh enam tahun setelah Reformasi, Indonesia kembali terjebak pada jebakan lama. Bedanya, jika dulu korupsi terpusat di Cendana, kini ia menyebar ke seluruh jaringan kekuasaan. Jika dulu bisa diputus dengan tumbangnya Soeharto, kini ia lebih sulit karena berakar dalam sistem.
Sejarah bangsa ini berulang: kejatuhan, kebangkitan, lalu kejatuhan lagi. Tetapi kali ini, tantangannya lebih serius. Bukan lagi sekadar siapa yang berkuasa, melainkan apakah negara ini masih punya kekuatan untuk keluar dari kleptokrasi yang sudah menjadi inti rezim.
Rezim Jokowi menandai puncak itu. Pertanyaannya kini, apakah bangsa ini masih memiliki tenaga untuk menurunkan puncak itu, atau justru akan membiarkan dirinya jatuh ke lembah yang lebih dalam?===
Cimahi, 8 September 2025
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #