Oleh Sudirman Said pada hari Selasa, 09 Sep 2025 - 14:55:56 WIB
Bagikan Berita ini :

BPUPKI 29 Mei 1945: Berilmu, Berakal Sehat, dan Jujur Sebagai Syarat Mengurus Negara

tscom_news_photo_1757404556.jpeg
SS (Sumber foto : Istimewa)

TEROPONGSENAYAN.COM - Sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei 1945 adalah tonggak sejarah yang tak hanya melahirkan gagasan tentang dasar negara, tetapi juga meletakkan standar etika kepemimpinan bangsa. Dalam sidang itu, Muhammad Yamin menyampaikan pidato pembukaan yang sarat pesan moral: bahwa pengurus negara haruslah berilmu dan berakal sehat.

Pesan ini sederhana namun mendalam. Bagi Yamin, ilmu adalah bekal mutlak untuk mengelola negara yang baru merdeka. Tanpa ilmu, kebijakan akan berjalan tanpa arah, dan tanpa akal sehat, kekuasaan akan kehilangan kebijaksanaan. Ilmu memberi kemampuan, akal sehat memberi keseimbangan.

Namun, Bung Hatta melengkapi pandangan itu dengan satu syarat fundamental: kejujuran. Hatta menegaskan, “sepandai dan sepintarnya seseorang, tanpa kejujuran patut diragukan kualitas dirinya.” Artinya, ilmu dan akal sehat tidak akan berarti jika tidak ditopang oleh kejujuran. Seorang pemimpin yang cerdas tapi tidak jujur berpotensi menjadi manipulatif, bahkan berbahaya bagi rakyat.

Etika Kelembagaan

Kedua pernyataan tokoh bangsa ini—Yamin dan Hatta—menjadi fondasi etika kelembagaan. Kelembagaan negara tidak boleh dipandang sekadar sebagai struktur formal, melainkan wadah pengabdian untuk menjaga cita-cita kemerdekaan: keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan persatuan bangsa.

Dalam konteks ini, syarat berilmu, berakal sehat, dan jujur seharusnya menjadi tolok ukur setiap pejabat publik yang menduduki kursi di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Tanpa tiga syarat ini, kelembagaan negara mudah tergelincir menjadi alat kepentingan pribadi atau kelompok, menjauh dari mandat rakyat.

Tantangan Masa Kini

Hari ini, delapan dekade setelah sidang BPUPKI, kita menyaksikan tantangan yang tidak kalah berat. Korupsi masih mencengkeram birokrasi, politik kerap terjebak pada polarisasi, dan hukum sering kali tumpul ke atas namun tajam ke bawah.

Di tengah situasi ini, pesan Yamin dan Hatta seakan hadir kembali untuk mengingatkan kita. Ilmu dan akal sehat harus melahirkan kebijakan yang adil dan visioner, sementara kejujuran menjadi benteng agar kekuasaan tidak diselewengkan.

Berilmu menuntut kompetensi nyata dalam mengelola urusan publik.

Berakal sehat mengharuskan pemimpin berpikir jernih, rasional, dan berpihak kepada rakyat.

Jujur memastikan bahwa ilmu dan akal sehat itu digunakan untuk kepentingan bangsa, bukan memperkaya diri.


Tanggung Jawab Moral

Pejabat publik bukan hanya pengelola administrasi negara, melainkan juga penjaga moralitas bangsa. Mereka memikul tanggung jawab sejarah untuk memastikan NKRI tetap utuh, berdaulat, dan bermartabat.

Oleh karena itu, pesan dari sidang BPUPKI seharusnya menjadi rujukan etika politik kita hari ini. Bahwa setiap pejabat negara, setiap pemegang mandat rakyat, harus terus-menerus bercermin: apakah ia sudah berilmu? Apakah ia masih berakal sehat? Apakah ia tetap jujur?

Penutup

Sidang BPUPKI 29 Mei 1945 bukan hanya catatan sejarah, melainkan cermin yang terus memantulkan pesan bagi kita semua. Yamin mengingatkan pentingnya ilmu dan akal sehat, Hatta menegaskan keharusan kejujuran. Tiga syarat ini—berilmu, berakal sehat, dan jujur—adalah fondasi tak tergantikan bagi siapa pun yang ingin mengemban amanah negara.

Di tengah krisis kepercayaan terhadap lembaga negara, menghidupkan kembali pesan luhur para pendiri bangsa adalah kebutuhan mendesak. Karena hanya dengan cara itulah, kita bisa mengembalikan negara ini ke relnya: sebagai rumah besar yang melindungi, menyejahterakan, dan mempersatukan seluruh anak bangsa.

Sudirman Said,
Pendiri Forum Warga Negara,
Rektor Universitas Harkat Negeri (UHN)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement
Lainnya
Opini

JOKOWI DAN SEPULUH TAHUN REJIM MALING DI INDONESIA

Oleh Radhar Tri Baskoro
pada hari Selasa, 09 Sep 2025
-9 September 2025- Korupsi adalah penyakit lama dalam politik Indonesia. Hampir semua rezim penguasa tidak luput darinya. Tetapi, kapan suatu rezim layak disebut sebagai rezim maling, sebuah ...
Opini

Demonstrasi yang Berulang dan Kerusuhan Massal: Cermin Krisis Demokrasi Kita

Gelombang demonstrasi kembali mewarnai jalan-jalan ibu kota dan berbagai daerah. Dari Reformasi 1998, Aksi 212, demonstrasi mahasiswa 2019, hingga peristiwa 25–31 Agustus 2025, pola yang ...