JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Direktur advokasi di Indonesian Law Reform Institute Agantaranansa Juanda menilai, sangat mungkin DPR memproses pasal 'titipan' seperti yang diungkapkan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli.
Rizal Ramli sebelumnya mensinyalir adanya praktek pasal titipan di DPR. Ia menyebutkan setidaknya ada dua contoh produk hukum yang diduga dirumuskan oleh DPR adanya pasal titipan, yakni UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
"Sangat mungkin sekali dengan fungsi legislatif DPR, dan juga dalam kerangka bahwa hukum yang cenderung bersifat purposif," kata Agantaranansa di Jakarta, Senin (21/9/2015).
Agan menyatakan pasal titipan merupakan salah satu persoalan dari sekian banyak masalah di DPR.
"Pada dasarnya yang benar adalah ketika DPR dan anggota dewan menjalankan fungsi legislatif ini murni mewakili aspirasi rakyat," ungkapnya.
Agan pun mengaku sepakat dengan pernyataan Rizal yang menyebutkan bahwa swastanisasi sumber daya air merupakan agenda terselubung kepentingan asing.
"Ada yang bilang titipan dari bank dunia dan juga perusahaan air raksasa internasional. Hanya saja, saya tidak mau menyebutkan namanya," sebut dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli menyebutkan, ada "kemunafikan" yang terselip di dalam pembentukan beberapa undang-undang yang disinyalir memuat kepentingan asing.
"Kita menganut kebijakan ekonomi neo-liberalisme. Apa itu? Pada dasarnya, semua diserahkan kepada pasar. Liberalisasi perdagangan, tetapi tak bisa liberalisasi tenaga kerja. Seluruh dunia melakukan liberalisasi keuangan, tetapi tak meliberalisasi tenaga kerja. Kalau diliberalisasi, nanti orang bisa menjadi tenaga kerja di negara-negara Barat. Di situ munafiknya," ujar Rizal, Selasa (15/9/2015).
Beberapa tahun lalu, kata Rizal, Indonesia dipinjami uang 500 juta dollar AS. Syaratnya, Indonesia harus membuat undang-undang migas. Akibatnya, terdapat beberapa pasal yang aneh di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas tersebut.
"Di undang-undangnya terdapat sejumlah pasal aneh bin ajaib. Salah satunya Indonesia tidak boleh menggunakan gas lebih dari 20 persen. Itu UU didesain oleh (pihak) asing-asing. Saya ke India, itu bajaj-nya kok bunyinya tenang-tenang saja. Gak keluar asap. Ternyata gasnya dari Indonesia," kata Rizal.
Lebih lanjut, kata dia, kepentingan asing juga masuk ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi membatalkan semua pasal dalam UU tersebut. Menurut dia, pembentukan UU Sumber Daya Air itu berawal ketika Indonesia meminjam 400 juta dollar AS dari Bank Dunia. Saat itu pula, Bank Dunia meminta adanya UU untuk melakukan swastanisasi sumber daya yang seharusnya menjadi milik seluruh rakyat Indonesia.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi, dan sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya.
"Kemudian ada lagi. Kita pinjam 200 juta dollar AS dari IDB. Dia minta kita buat undang-undang privatisasi BUMN. Jadi, BUMN bisa dijual oleh asing. Jadi, ini proses menjual kedaulatan kita karena undang-undang itu belum tentu sesuai maksud kita sebagai bangsa. Tidak aneh bilamana (pihak) asing terlalu dominan, dan ini terjadi di berbagai bidang. Ini policy yang sangat neo-liberal," ucap Rizal.
Dia mengatakan, tidak ada paham neo-liberalisme yang meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Neo-liberalisme merupakan pintu masuknya neo-kolonialisme. Suatu bangsa bisa mengubah nasibnya dengan policy dan strategi sendiri, bukan selalu dicekoki dengan uang atau proyek-proyek titipan dari luar.(yn)