JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Harry Poernomo menekankan agar Menteri ESDM berupaya merevisi dan renegosiasi kesepakatan komitmen dengan perusahaan gas seperti BP Tangguh dan Blok Mahakam. Terutama terkait kebutuhan Gas/LNG untuk kebutuhan domestik yang pernah dibuat di era Jero Wacik.
"Revisi dan renegosiasi bertujuan agar alokasi gas/LNG domestik lebih besar dan sejalan dengan program pengalihan dari BBM ke gas alam," kata Harry kepada TeropongSenayan di Jakarta, Selasa (6/10/2015).
Menurutnya, renegosiasi dengan perusahaan gas seperti BP Tangguh dan Blok Mahakam sangat penting, dibanding dengan perusahaan-perusahaan lainnya.
"Meski kita masih punya Blok Masela dan Natuna, tapi kedua blok tersebut produksinya masih sangat lama (pasca-2020/2025)," terang dia.
Untuk itu, kata dia, paralel dengan renegosiasi tersebut, pemerintah diharapkan segera membangun infrastruktur gas domestik (pipanisasi dan terminal penerima/regasifikasi LNG) untuk memenuhi kebutuhan gas nasional.
"Saya berharap pelaksanaanya oleh Pertamina, bukan PGN, karena PGN 50% sahamnya sudah milik asing. Upaya ini jauh lebih baik daripada berwacana soal "agregator gas" apalagi sibuk dengan pencitraan yang sama sekali tidak produktif," tandasnya.
Dijelaskannya, berbicara soal "agregator", tidak ada lembaga atau perusahaan lain yang lebih siap selain Pertamina. Sebab pada realitanya sebelum era UU Migas yang sudah dibatalkan oleh MK, Pertamina bertugas sebagai Agregator baik gas maupun BBM.
"Agregator harus punya akses kuat ke sektor hulu, punya leverage kuat, punya infrastruktur, jaringan dan pengalaman disektor gas/LNG secara internasional, struktur permodalan kuat dan yang paling penting 100% milik negara," tegasnya.
"Tidak bisa pihak swasta diberi tugas sebagai agregtor."
Kalau ada kekhawatiran Pertamina akan menjadi terlalu besar dan kuat, kata dia, pendapat tersebut samasekali keliru.
"Justru kita ingin punya BUMN Migas kuat seperti Petronas atau NOC lainnya, Alasan trauma dengan kebesaran Pertamina masa lalu adalah keliru. zaman sekarang tidak perlu khawatir lagi karena unsur pengawasan internal dan eksternal sudah semakin baik dan kuat," tandas dia.
"Dengan demikian wacana agregator hanya buang-buang waktu dan energi, sesungguhnya sudah tersedia agregator yaitu Pertamina."
Justru yang mendesak dilakukan adalah memastikan terjaminnya pasokan gas atau BBM, utamanya dari sumber-sumber dalam negeri, jangan lagi gas dan crude dalam negeri diekspor.
"Jika kelak kita defisit gas apa boleh buat kita harus impor.Rencana penerbitan Perpres/Kepres soal "agregator" harus diarahkan kepada Pertamina, jangan sampai ditunggangi oleh pihak-pihak lain yang ingin menjadi atau mendapat bagian sebagai "agregator" karena hanya akan melahirkan mafia-mafia Migas baru. Jangan-jangan rezim sekarang yang mengaku sukses membasmi mafia migas justru akan melahirkan mafia migas baru alias ganti baju," jelasnya. (iy)