Oleh Sahlan Ake pada hari Rabu, 15 Okt 2025 - 19:08:35 WIB
Bagikan Berita ini :

Komisi III DPR RI Pertanyakan Selisih Besar Nilai Kerugian Negara dalam Kasus Tata Kelola Minyak Pertamina

tscom_news_photo_1760530115.jpg
Abdullah anggota Komisi III DPR (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdullah mempertanyakan selisih kerugian keuangan dan ekonomi negara dari kasus korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung). Saat tahap ekpose awal penyelidikan, Kejagung menyebut kerugian sekitar Rp968,5 triliun dan bahkan bisa lebih, namun dalam surat dakwaan, Kejagung menyebut kerugian hanya mencapai Rp285,1 triliun.

“Sekarang masyarakat bertanya-tanya, mengapa selisih kerugian dari kasus korupsi Tata Kelola Minyak Pertamina yang ditangani Kejagung itu sangat besar? Jangan salahkan masyarakat apabila curiga atau berspekulasi atas hal ini,” ujar Abduh sapaan akrabnya, Rabu (15/10).

Selain perhitungan selisih kerugian yang besar, Abduh yang dipercaya menjadi Kapoksi dari Fraksi PKB untuk Komisi Hukum ini juga mempertanyakan pernyataan Jaksa dalam dakwaannya yang menegaskan tidak ditemukannya praktik oplosan bahan bakar. Padahal sebelumnya pernyataan ini sempat memicu kegaduhan di publik.

“Lebih dari itu, pernyataan dari Kejagung tersebut sempat membuat masyarakat kecewa dan tidak percaya dengan Pertamina. Beberapa masyarakat bahkan sampai mengisi bahan bakarnya di SPBU selain Pertamina, ini tentu merugikan negara,” tegas Abduh.

Menjadi catatan penting, Abduh yang berasal dari Dapil Jateng VI ini menegaskan Komisi III selaku mitra kerja tentu mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi oleh Kejagung. Namun, Abduh meminta praktiknya oleh Kejagung mesti dilakukan profesional, bukan dengan mengedepankan sensasi dan bombastis untuk pemberitaan media.

“Kejagung dan aparat penegak hukum (APH) mesti profesional, transparan dan akuntabel dalam menindak kasus korupsi yang ada. Jangan membuat masyarakat bingung, panik dan menimbulkan ketidakpercayaan yang berisiko menghadirkan kerugian baru lainnya yang tidak terkait dengan kasus korupsi yang sedang diusut,” papar Abduh.

Sebagai solusi untuk kedepannya, Abduh pun mengusulkan agar Kejagung dan APH dapat bersikap cermat dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi ke publik. Mulai dengan memperhatikan detail hal teknis hingga substansi dari kasus korupsi yang ditangani.

“Artinya Kejagung dan APH dapat bekerja sama dengan pihak lain seperti PPATK misalnya sebelum mengumumkan kerugian dari kasus korupsi yang ditangani, juga bisa berkolaborasi dengan pakar atau akademisi jika dibutuhkan untuk mendalami suatu hal teknis yang belum dimengerti,” tandas Abduh.

Diketahui berdasarkan surat dakwaan yang dibacakan oleh jaksa pada kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero), kerugian keuangan dan perekonomian negara dalam kasus yang menjerat Muhammad Kerry Adrianto Riza, anak dari pengusaha minyak Riza Chalid dan beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, beserta empat terdakwa lainnya, disebut mencapai Rp 285,1 triliun.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai sikap Kejagung menunjukkan inkonsistensi dan kurangnya transparansi kepada publik.

"Saya lihat Kejaksaan tidak konsisten. Harusnya transparan kepada publik asal mula terjadi penyusutan kerugian. Jelaskan latar belakangnya, jangan kemudian dia posisinya sendiri melemah," ujar Trubus, Selasa (14/10).

Selain itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna mengatakan istilah yang dipakai dalam produksi BBM bukan "oplosan", melainkan "blending" atau pencampuran komponen bahan bakar dengan kadar oktan (RON) yang berbeda.

"Jadi memang gini, tidak ada istilah oplosan sekarang sebetulnya, kan blending-an. Ibaratnya blending-an dari RON 88 atau RON 92 yang memang dijual dengan harga di bawah, ya bahkan price, ya kan di situ. Di situ kan ada dan dia termasuk ya yang diuntungkan, ada diperlakukan istimewa. Istilahnya bukan oplosan, blending-an dan memang secara teknis memang begitu. Tidak ada istilah oplosan, blending," kata Anang kepada wartawan, Jumat (10/10).

tag: #dpr  #pt-pertamina  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement