JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Pengelolaan proyek Lapangan Gas Abadi, Masela, Maluku, dengan pola terapung di laut dinilai akan jauh lebih sulit diawasi dan dikontrol. Hal ini seperti disampaikan Pengamat Gas dan Perminyakan, Bemby Uripto.
Bemby mengatakan, pengawasan proyek yang dilakukan di laut tidak akan semaksimal di darat.
"Di laut itu lebih repot, selain juga membutuhkan biaya lebih banyak dan butuh peralatan canggih. Makanya saya tidak setuju jika pengelolaannya di laut. Apalagi, kita lebih berpengalaman di darat," kata Bemby dalam sebuah diskusi; Forum Senator untuk Rakyat, bertema 'Kekayaan Laut dan Daerah untuk Siapa? Menyoroti Blok Masela' di Cikini, Jakarta, Minggu (11/10/2015).
Menurutnya, tempat strategis itu hanya di darat. Selain dapat diawasi oleh birokrasi, masyarakat juga bisa ikut mengawasi langsung.
"Sebaiknya, pengawasan jangan bergantung pada birokrasi saja, tapi masyarakat juga harus ikut mengawasi. Kalau perlu masyarakat juga mengawasi para birokrasi yang bertugas disitu," katanya.
Menurut dia, dari penelitian, kajian dan perhitungan ulang serta membandingkan dengan beberapa proyek pengembangan migas baik di darat dan di laut di beberapa negara, biaya operasional lebih murah di darat ketimbang di laut.
Selain itu, biaya investasi pun lebih murah. Proyek LNG Abadi, Masela di darat sebesar 16 miliar dolar AS, sedangkan dibangun terapung di laut mencapai 22 miliar dolar AS. Begitu pula Total Kandungan Dalam Negeri (TKDN) pada LNG terapung maksimal 10 persen sedangkan di darat, dari pengalaman Indonesia membangun di darat, TKDN mencapai 35 persen.
Dan yang tak kalah penting, lanjut Bemby, kalau dibangun di darat, manfaat TKDN dirasakan langsung oleh masyarakat Maluku dan maupun masyarakat lainnya di kawasan Timur Indonesia.
"Bahkan kalau dibangun di darat justru membuka peluang bangkitnya ekonomi, sosial, kewilayahan dan penguatan ketahanan nasional di kawasan Indonesia bagian Timur, seperti industri maritim, kelistrikan dan lain sebagainya," tandasnya. (mnx)