JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Pelaksanaan Pilkada serentak 9 Desember lalu masih menyisakan setumpuk masalah. Betapa tidak, tak kurang dari 100 pasangan calon (paslon) memutuskan untuk mengajukan protes ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai benteng terakhir demokrasi.
Namun, jalan terakhir untuk mencari keadilan tersebut terancam gugur atau terjegal setelah diterapkannya pasal 158 UU 8 Tahun 2015 yang mengatur tentang pembatasan selisih maksimal sebagai syarat formil diterima atau tidaknya suatu sengketa.
"Ini (pasal) sangat keterlaluan. Membuat 100 sengketa Pilkada 9 Desember 2015 yang diajukan ke MK terancam gugur," kata Ratna dalam sebuah diskusi 'Pasal 158, UU No 8/2015 Membunuh Demokrasi, Halalkan Kecurangan Dan Korupsi' di Jakarta, Sabtu (26/12/2015).
"Aku adalah orang yang dengan keras menolak UUD amandemen beserta seluruh undang-undang yang dilahirkannya yang tidak memihak pada bangsa dan rakyat," tegas Ratna.
Menurut Ratna, Pasal tersebut merupakan kejahatan yang dilegilitaskan melalu UU. Sebab Pasal itu sangat liberal mengingat di dalamnya mengatur tentang pembatasan selisih maksimal sebagai syarat formil dapat diterimanya suatu perkara perselisihan pemilihan kepala daerah.
Karena itu, Ratna meminta agar MK tidak hanya memeriksa perselisihan hasil rekapitulasi dengan kejar target.
Menurutnya, MK tidak boleh abai begitu saja dan harus memeriksa fakta dan indikasi pelanggaran Pilkada yang memenuhi standar terstruktur, sistematif, dan masif (TSM) serta mempengaruhi perolehan suara.
"Tak sulit mempercayai ada pasangan calon yang ingin bertarung di Pilkada tanpa money politik. Karena itu, MK harus memperluas objek pemeriksaan. MK wajib memeriksa fakta dan indikasi pelanggaran demokrasi," ungkapnya.(yn)