JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Komisi Informasi Pusat (KIP) meminta materi keterbukaan informasi publik harus dimasukkan ke dalam revisi UU Pilkada yang dalam waktu dekat segera akan dibahas. DPR menargetkan pembahasan selesai bulan Maret depan.
‘Pemerintah harus memasukkan materi keterbukaan informasi publik sebelum draf RUU Pilkada diserahkan kepada DPR,” kata Ketua KIP Abdulhamid Dipopramono kepada TeropongSenayan, Minggu (28/2/2016). Sebab, masalah aspek keterbukaan informasi publik perannya sangat penting untuk menciptakan demokrasi yang berkualitas.
Menurut Hamid, materi keterbukaan informasi yang penting dimasukkan ke dalam RUU Pilkada antara lain soal; syarat calon kepala daerah yang wajib membuka ke publik seluruh data pribadinya seperti status hukum yang disandangnya. Lalu, apakah sedang menjadi tersangka, terpidana, dan mantan terpidana atau tidak.
Informasi publik lain yang harus dibuka adalah riwayat pendidikan dan kesehatan. Keduanya bisa mempengaruhi saat mereka menjalankan tugas setelah terpilih. Demikian juga data harta kekayaannya dari mana diperoleh. Sema harus dibuka ke publik mulai saat pendaftaran.
Dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) disebutkan bahwa informasi pribadi yang terdiri riwayat pendidikan, kapasitas dan kapabilitas intelektual, kesehatan fisik dan psikis, maupun kondisi keuangan dan aset sesorang merupakan informasi rahasia.
“Tetapi jika berhubungan dengan posisi dalam jabatan publik maka hal itu bukan merupakan informasi rahasia lagi, seperti diatur dalam Pasal 18,” kata Hamid. Sebab, para calon kepala daerah adalah mereka yang terkait dengan jabatan publik.
Oleh karenanya, untuk memberikan obyektivitas pertimbangan kepada publik dalam memilih pimpinan mereka, maka informasi tersebut harus dibuka sejak dari proses pendaftaran sebagai calon kepala daerah. “Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tidak memilih kucing dalam karung yang berakibat kemudian di belakang hari dihadapkan pada kenyataan bahwa pimpinan yang mereka pilih ternyata berstatus tersangka, mantan terpidana, korup, serta memiliki kondisi kesehatan dan intelektualitas yang mengkhawatirkan setelah menjabat,” tutur Hamid lagi.
Jika kepala daerah terpilih memiliki status demikian, lanjutnya, kepemimpinan mereka tidak akan efektif dikarenakan akan selalu dimasalahkan orang. Apalagi jika statusnya sedang menjadi tersangka, maka hari-harinya akan disibukkan dengan urusan hukum pribadinya dan tidak berkonsentrasi penuh untuk memimpin daerahnya.
Jika mereka mantan terpidana juga berpotensi menjadi bulan-bulanan publik. Demikian juga jika sakit-sakitan. “Hal-hal tersebut pada gilirannya akan memerosotkan kepercayaan publik (trust) kepada mereka dan kepemimpinan menjadi tak efektif,” kata orang nomor satu di KIP RI ini.
Pada kesempatan ini, KIP juga mengapresiasi KPU yang dalam revisi UU Pilkada ini menginginkan agar calon kepala daerah yang berstatus tersangka dilarang ikut pilkada. Sebaliknya, sikap pemerintah dan DPR tampaknya cenderung untuk tetap memperbolehkan tersangka ikut pilkada, dengan argumen bahwa seseorang yang berstatus tersangka belum tentu bersalah.
“KIP mengharap agar KPU tetap bertahan dan terus berusaha agar materi pelarangan tersebut masuk dalam revisi UU Pilkada,” ujarnya lagi. Menurut dia, KPU merupakan institusi yang paling bertanggung jawab dalam sukses atau tidaknya pilkada.
KPU, kata dia, tidak saja bertanggung jawab terhadap sukses atau tidaknya proses pelaksanaan pilkada secara prosedural tetapi juga bertanggung jawab terhadap kualitas hasil pilkada. Termasuk soal kualitas hasilnya, adalah para pimpinan yang terpilih melalui proses pilkada yang mereka selenggarakan. (b)