JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadil Ramadhanil mengatakan, seharusnya Mahkamah Konstitusi (MK) tidak hanya mengadili selisih suara dalam Pilkada 2015.
Menurutnya, MK harus melihat proses integritas pelaksanaan Pilkada secara keseluruhan.
"Sengketa Pilkada di MK permohonan yang masuk di MK bukan hanya ketepatan angka-angka saja, tapi jauh lebih dari itu MK semestinya bisa melihat bagaimana proses Pilkada secara keseluruhan, dan menguji proses itu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Prinsip Pemilu yang ada karena panggung terakhir hanya di MK," ujar Fadil saat konfersi pers di kantornya, Jakarta, Minggu (3/12/2015).
Fadil menambahkan, seharusnya MK tidak hanya mengadili sengketa Pilkada terkait angka-angka semata.
"Kalau MK hanya mengadili soal ketepatan angka saja, maka menurut kami tidak lebih MK hanya jadi mahkamah kalkulator saja dan itu bukan merupakan maksud dan tujuan dibuatnya mekanisme proses penyelesaian sengketa hasil Pilkada," tuturnya.
Untuk diketahui, UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) telah mengariskan sengketa pilkada hanya menyangkut persoalan kesalahan penghitungan perolehan suara. Selain itu, sengketa hasil penghitungan suara yang bisa digugat ke MK ada syarat presentase tertentu yang dibatasi secara limitatif.
Misalnya, Pasal 158 ayat (1) UU Pilkada menyebut syarat pengajuan (pembatalan hasil perolehan suara) jika ada perbedaan selisih suara maksimal 2 persen dari penetapan hasil penghitungan suara KPU Provinsi bagi provinsi maksimal 2 juta penduduk. Bagi penduduk lebih dari 2 juta hingga 6 juta, syarat pengajuan jika ada perbedaan selisih maksimal 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan suara KPU Provinsi.
Persoalan lain menyangkut pelanggaran etik, administratif, pidana pemilu, dan keabsahan penetapan pasangan calon merupakan kewenangan lembaga lain. Seperti, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu/Panwaslu), dan lewat penegakan hukum terpadu (Gakumdu), dan PTUN. Meski begitu, praktiknya tak jarang pelanggaran TSM dapat menjadi alasan dikabulkannya permohonan sengketa pilkada karena sudah menjadi salah satu asas hukum pemilu yang sifatnya kasuistis.(yn)